Oleh Ikrar Nusa Bhakti
Keangkuhan kekuasaan di negeri ini sepertinya tak lagi sanggup melawan nurani publik. Sebagian besar rakyat Indonesia tersentak , murka , dan kaget betapa parah skandal penegakan aturan di negeri ini.
Mahkamah Konstitusi harus diacungi jempol , berani utuh memperdengarkan rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo—adik Dirut PT Masaro Anggoro Widjojo , yang terlibat korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan—dan para lawan bitriknya untuk mengatur kriminalisasi Wakil Ketua (nonaktif) KPK , Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Dari rekaman itu tampak ada persekongkolan anyir antara penguasa , pengusaha pembangkang , dan pegawanegeri penegak aturan di Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung untuk mengatur info program penahanan Chandra dan Bibit , membunuh mereka ketika dalam tahanan , dengan target final , penutupan KPK. Hal yang membuat publik murka ialah mengapa perangkat aturan negeri ini begitu gampang dibeli. Kemarahan tidak hanya dari pelopor antikorupsi , cendekiawan , dan tokoh masyarakat , tetapi juga dari warga Tionghoa.
Berita di media cetak dan elektronik mungkin tidak bakal menjadi perhatian publik jikalau istilah ”cicak lawan buaya” tak muncul menjadi perihal pertarungan antara KPK dan Polri. Berita juga tidak bakal membesar jikalau Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung menuntaskan kasus ini melalui proses aturan yang benar dan transparan.
Masyarakat menilai dua forum aturan itu telah melanggar asas kepatutan aturan alasannya yakni tidak profesional , transparan , imparsial , tidak memiliki kepentingan , dan tidak memiliki perhatian asimetris untuk memenangkan salah satu pihak. Namun , pemutaran hasil sadapan KPK atas pembitrikan Anggodo Widjojo dengan beberapa elite di Kejaksaan Agung dan Polisi Republik Indonesia dengan mencatut nama Presiden Yudhoyono telah menjadikan dugaan keras adanya persekongkolan busuk.
Pelajaran berharga
Kasus ”cicak lawan buaya” ini membawa pelajaran berharga bagi penegakan aturan di negeri ini. Pertama , dari sisi penegakan aturan , sekarang kian transparan betapa isu adanya mafioso (mafia pengadilan) yang mempermainkan rasa keadilan masyarakat dengan mengatur proses aturan di pengadilan bukanlah isapan jempol. Ini yakni ketika paling sempurna untuk menghabisi praktik cecunguk pengadilan itu. Tanpa itu , karut-marut penegakan aturan di negeri ini bakal terus berlangsung.
Kedua , dalil Lord Acton , ”kekuasaan cenderung untuk korup” , masih terjadi di negeri kita. Pada masa Orde Baru , aturan sanggup dikalahkan oleh sabda penguasa. Namun , pada periode reformasi/demokrasi ini sepertinya sulit bagi penguasa bermain-main dengan kekuasaannya alasannya yakni adanya kebebasan masyarakat untuk mengkritik dan melawan ketidakadilan. Keangkuhan kekuasaan dalam mempermainkan aturan sanggup dilawan melalui nurani publik. Ini menawarkan kebangkitan kelompok masyarakat madani yang berani melawan kesewenang-wenangan penguasa demi menjaga demokrasi , transparansi , pemerintahan yang manis dan bersih.
Ketiga , meski cicak (KPK) jauh lebih kecil daripada buaya (Polri) , pegawanegeri penegak aturan lupa , cicak yang agung dan sanggup menjadi rujukan masyarakat dalam upaya memberantas korupsi memiliki basis kekuasaan yang lebih berpengaruh , yakni adanya sekutu KPK di dalam masyarakat madani. Di sini timbul keinginan semoga Polisi Republik Indonesia sanggup menjadi institusi yang benar-benar melindungi , mengayomi , melayani masyarakat , dan sanggup mendapatkan amanah sebagai pegawanegeri penegak hukum. Kita juga berharap Kejaksaan Agung sanggup benar-benar steril dari praktik cecunguk pengadilan yang selama ini masih berlangsung. ”Cicak” dan ”buaya” yakni sama-sama satu keluarga yang seharusnya bekerja sama demi penegakan aturan , khususnya memberantas korupsi di negeri ini , dan bukan institusi yang saling mematikan.
Keempat , pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum oleh Presiden SBY mudah-mudahan bukan menjadi sarana ”pemadam kebakaran” untuk memadamkan kemarahan publik dan mengembalikan gambaran penguasa , tetapi benar-benar menjalankan kiprah setrik benar sesuai asas kepatutan meski harus berlawanan dengan kepentingan politik dan aturan penguasa yang membentuknya. Hasil dari tim ini sepatutnya diimplementasikan setrik benar dan patut pula. Pada masa kemudian , tim pencari fakta semacam ini , menyerupai dalam kasus pembunuhan pelopor HAM , Munir , dan kasus Semanggi , meski telah bekerja setrik baik , akhirnya hanya dibuang ke keranjang sampah.
Kelima , kekuatan media massa ternyata memberi nilai lebih pada penegakan aturan di negeri ini. Pemberitaan media yang begitu memukau publik telah menjadikan media massa sebagai pilar keempat demokrasi di negeri ini , selain direktur , legislatif , dan yudikatif.
Bola panas bagi Presiden SBY
Kasus penahanan Bibit dan Chandra telah menjadi ”bola panas” bagi Presiden Yudhoyono. Pertanyaan publik yang harus dijawab SBY ialah adakah intervensi penguasa terhadap pegawanegeri penegak aturan semoga Bibit dan Chandra ditahan , dan KPK dilumpuhkan. Publik memiliki dugaan keras atas keterlibatan SBY dalam kasus ini alasannya yakni namanya disebut-sebut mendukung Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga serta mengizinkan penahanan Bibit dan Chandra.
Apakah kata tahan itu berMakna Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung harus menahan diri semoga kasus Bibit dan Chandra tidak membesar , ataukah pihak Polisi Republik Indonesia menginterpretasikannya sebagai perintah penahanan.
Pertanyaan kedua yang harus dijawab SBY ialah adakah kepentingan ekonomi dan politik dari penguasa atas kasus yang menimpa dua wakil ketua (nonaktif) KPK itu? Jika hasil tim independen menerangkan adanya keterlibatan penguasa , tentu bakal sulit bagi SBY menahan gelombang kritik dan tekanan publik atas adanya persekongkolan anyir penguasa , pengusaha pembangkang , dan pegawanegeri penegak hukum. Kita berharap perkiraan ini salah dan nama SBY hanya dicatut semata. Jika tidak , gambaran SBY bakal terkontaminasi dan sulit diperbaiki kembali. Kita juga berharap Polisi Republik Indonesia , Kejaksaan Agung , dan KPK tidak dijadikan tumbal demi kepentingan penguasa semata.
Ikrar Nusa Bhakti , Profesor Riset Bidang Intermestik Affairs di Pusat Penelitian Politik LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tahan! Mana Tahan?"