Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Jikalau Buaya Pilek...

Oleh Mohamad Sobary

Seharusnya KPK tak perlu ada. Kita tahu kehadiran forum ini menjadikan suasana persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga penegak hukum.

Publik mengagung-agungkan KPK , yang dianggap lebih berani , lebih transparan , lebih tegas. Perlakuan publik menunjukkan KPK sebagai pendekar , sedangkan Kejaksaan Agung dan jajarannya dipandang sebelah mata.

Ini tentu tak mengenakkan bagi forum penuntut umum itu. Jasanya , pada ketika sukses sekalipun , juga tak diakui. Inilah ”suasana hati” para petinggi di Kejaksaan Agung ketika Jaksa Agung dijabat Abdurrahman Saleh. Saya pernah menemuinya , di kantornya , bersama beberapa sobat , staf dari Partnership. Jaksa Agung mendapatkan saya , didampingi para jaksa agung muda. Pak Hendarman Supandji , Jaksa Agung kini , ketika itu juga hadir. Itulah keluhan mereka , yang merasa tak dianggap—terutama oleh media—dan saya turut mencicipi betapa tak lezat menerima perlakuan publik menyerupai itu , pada ketika yang lain dipuja-puja.

Kami tiba bukan untuk mendiskusikan ”perasaan” menyerupai itu. Agenda saya membahas langkah lebih lanjut menemukan trik-trik , seni administrasi , atau pendekatan untuk mewujudkan gagasan mereformasi Kejaksaan Agung yang belum pernah beranjak meninggalkan dokumen resmi. Maksudnya , sampai hari ini , gagasan reformasi itu masih tetap suci sebagai gagasan yang belum tersentuh apa pun.

Hasil pilihan perilaku populis
Ketika KPK angkatan pertama dibuat , Bang Dillon—Direktur Eksekutif Partnership ketika itu—ikut sibuk menangani banyak duduk perkara dasar ihwal bakal menyerupai apa KPK kelak , dengan aktivitas macam apa , dan gimana menjaring koruptor yang memiskinkan rakyat. Jangan lupa , KPK ini forum yang lahir dari Presiden Megawati Soekarnoputri , yang dengan tangan terbuka mendapatkan aspirasi publik untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai aktivitas ”unggulan”. Kita tahu , kehadiran KPK juga memberi Presiden SBY kredit amat besar , bila bukan hampir tak terbatas.

KPK pimpinan Taufiequrachman Ruki itu berakhir ketika saya menggantikan Dillon sebagai Direktur Eksekutif Partnership. Seperti sebelumnya , untuk menentukan komisioner KPK yang gres , Presiden SBY mengeluarkan keppres , isinya menugaskan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi menjadi ketua panitia seleksi. Bersama sejumlah tenaga staf , saya mewakili Partnership mendukung langkah ini dari nol.

Kami menentukan tokoh-tokoh yang tak diragukan kredibilitasnya untuk menjadi anggota panitia seleksi Agar kelak menghasilkan komisioner profesional , memiliki kompetensi teknis yang tinggi di bidang masing-masing , berpengetahuan luas , berpengalaman menangani korupsi , terpercaya , teruji kejujurannya , dan semua itu harus didukung data lengkap , dibuktikan lebih lanjut dalam rekam jejak riil sepanjang karier mereka.

Tanpa mereka ketahui , saya memeriksa rahasia untuk mengetahui siapa bergotong-royong mereka. Kami mencari pinjaman dari banyak pihak—terutama dari LSM—untuk memperoleh info otentik ihwal mereka. Data yang diperoleh diuji lebih lanjut dengan wawantrik mendalam , sistematis , dengan bahan pertanyaan melebihi perjuangan menjaring calon menteri.

Untuk menentukan lima komisioner itu , panitia menyerahkan dua pasang susunan komisioner sebanyak 10 orang kepada Presiden yang kemudian meneruskan ke DPR. Dipilihnya Antasari Azhar sebagai ketua oleh dewan perwakilan rakyat ketika itu menjadi problem menjengkelkan. Orang bertanya , dengan murka , apa kepentingan politik DPR.

Model pengadilan tipikor
Sekali lagi , KPK seharusnya tak perlu ada. Ini yaitu forum sementara , hadir dalam situasi darurat , tak dimaksudkan untuk permanen. Kita memiliki banyak komisi negara yang sifatnya sementara. Namun , KPK yang sementara sanggup amat usang alasannya yaitu forum penegak aturan lain , yang sebagian tugas dan fungsinya diambil , belum juga sembuh.

Komisi Kejaksaan—bertanggung jawab kepada presiden— memanggul mandat mereformasi internal kejaksaan , tetapi kesannya belum memadai. Ibaratnya , kejaksaan belum tersentuh aktivitas reformasi. Kita memiliki Komisi Kepolisian Nasional , juga bertanggung jawab pribadi kepada presiden , yang agak lebih baik dan punya hasil yang patut dihargai. Di Mahkamah Agung malah ada cetak biru reformasi , tetapi masih ”agak” macet. Mereka sibuk dengan urusan memperpanjang masa pensiun , ”menyerang” Komisi Yudisial Agar , kalau sanggup , komisi ini mandul.

Otomatis ini semua ”memberi” hak lebih besar dan legitimasi lebih besar lengan berkuasa terhadap kehadiran KPK. Tentu saja KPK tak mungkin lepas dari kekurangan. Namun , forum yang dibuat dengan impian menutup kekurangan forum lain , KPK menunjukkan hasil. Kehadirannya mengisyaratkan kita masih berhak berharap. Ada gejala , suatu ketika , pelan-pelan , koruptor kita ganyang. Semua kita kubur di dalam lembaga-lembaga yang mau mencar ilmu menjadi bersih.

Tanda kita masih punya alasan berharap itu tampak pada trik kerja KPK dan kelengkapan lembaganya , pengadilan tindak pidana korupsi , yang belum pernah memagarkan koruptor lepas begitu saja. Para hakim merupakan warga negara yang memiliki kepedulian tulus. Mereka tak terperangah melihat duit. Orang- orang ini bekerja dengan kreatif , mengandalkan perilaku profesional , jujur , dan memiliki seni ”menjerat” koruptor yang diadili , dengan pertanyaan yang tak dimiliki pengadilan lain.

Kemitraan memiliki catatan kinerja mereka , yang kemudian diteliti lagi oleh peneliti LIPI , yang memperteguh Agar pengadilan tipikor menjadi model bagi pengadilan-pengadilan lain. Di sini terperinci , KPK memberi kita alternatif membuatkan model pengadilan higienis dari mentalitas dan perilaku korup.

Jika buaya pilek...
Negeri ini bukan milik pejabat , bukan pula milik pemerintah. Polisi milik kita , seluruh rakyat Indonesia. Kejaksaan milik kita. Mahkamah Agung , Mahkamah Konstitusi , dan semua komisi negara milik kita. KPK mungkin betul hanya cicak. Dan kalau diterkam buaya , niscaya tak berdaya.

Namun , cicak ini memberi presiden ”kredit” besar. Di dunia luar , gerak kita melawan korupsi dicatat sebagai bab ”kemuliaan” Presiden SBY dan kabinet SBY. Kemitraan yang ikut gigih membentuk KPK. Jika kemitraan boleh mengklaim ikut memiliki KPK , otomatis , KPK juga milik SBY.

Buaya menerkam cicak , apa bukan berMakna buaya menerkam SBY? Tahukah implikasinya bagi karier dan jabatan bila melawan rakyat , sekaligus melawan presiden sendiri? Maka , patut dicatat , cicak dan buaya diciptakan Tuhan bukan untuk saling berhadapan sebagai musuh. Mereka saudara serumpun , yang sanggup saling membantu. Bahkan , kalau buaya pilek , cicak pun sanggup menggantikannya.
MOHAMAD SOBARY Esais

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jikalau Buaya Pilek..."

Total Pageviews