Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menunggu Antigone

Toto Suparto

Berani , sekali lagi berani , dan selamanya berani ,” begitu ucapan Danton yang dihayati dan diamalkan oleh Antigone.

Dramawan Perancis , Jean Anouilh (1910-1987) , melahirkan Antigone lewat sebuah lakon. Tokoh wanita ini merupakan wakil semangat yang menentang dan menyerukan perlawanan terhadap tirani raja Creon.

Antigone digambarkan sebagai wanita heroik yang berani berkata ”Tidak!” ketika banyak orang berseru ”Iya.” Sikap itu membuatnya diakrabi kesulitan sampai-sampai lupa bahwa dirinya ialah wanita yang seharusnya menjaga penampilan.

Sebaliknya , ia memagarkan tubuhnya kurus kering sehingga memudarkan kecantikannya. Wajar kalau ia kemudian nyaris tak mengenal makna cinta , apalagi Setelah lelaki yang ia kagumi lari ke pelukan wanita lain.

Meski demikian , ia dipuja sebagai pahlawan. Keberaniannya berkata ”Tidak!” bukan tanpa konsekuensi. Ia mengorbankan kepentingan diri demi kepentingan orang banyak. Ia membela rakyat ketimbang menghamba penguasa. Ia dinilai altruis. Meminjam ukuran Pearl M Oliner (1988) , altruis itu acap bertindak hanya menolong orang lain , tindakan itu mengandung risiko tinggi , tindakan itu tanpa mengharap pamrih , imbalan , atau bentuk penghargaan lain , dan tindakan itu dijalani dengan sukarela. Antigone dihormati sebagai pahlawan.

Ukuran fundamental

Antigone ialah personifikasi pahlawan. Setiap zaman melahirkan pahlawannya. Namun , pergantian zaman hanya membedakan medan perjuangan. Karakter tak pernah berubah. Kisah Antigone memberi citra pahlawan dimaksud bahwa ia bermula dengan menolak , bisa menggugah hati , dan lahir dari dunia nilai tertentu. Antigone memberi ukuran mendasar pahlawan , ibarat kesediaan berbuat , berjuang , dan berkorban bagi kemanusiaan serta nilai-nilai luhur yang universal.

Kisah Antigone ini membingkai makna pahlawan sebagai orang yang menonjol alasannya ialah keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Dengan menggunakan tiga kunci itu—(1) keberanian , (2) menonjol , dan (3) membela kebenaran—berkembanglah makna pahlawan itu. Ada yang menyebarkan intisari pahlawan menjadi mereka yang rela berkorban dengan prestasi lebih besar dibandingkan dengan orang seusianya dan ketulusan mengaktualisasi diri.

Saat penjajahan , makna berkorban hingga kepada kehilangan nyawa di medan perang. Namun , sekarang lebih kepada gimana seseorang mau berbuat dengan kesanggupan untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Dalam taraf ini , seseorang tergerak hatinya dengan amal yang tak lagi mempertimbangkan laba pribadi.

Di sinilah diharapkan ketulusan ketika seseorang memutuskan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. Di sini pula pertimbangan untung-rugi dikalkulasi dengan sebuah kepasrahan kepada Sang Pencipta. Ia punya keyakinan , ketika menabur benih kebaikan dalam kehidupannya , maka yakin Sang Pencipta bakal memberi buah kenikmatan. Keyakinan ini bakal menjadi kekuatan dahsyat untuk mengoptimalkan potensi hati , nalar , maupun jasmani bagi kehidupan bersama yang lebih baik.

Dari kekuatan dahsyat itu acap mengukir prestasi besar kalau dibandingkan dengan orang kebanyakan. Mereka yang ingin berprestasi besar ialah yang mau terus memperbarui persepsi dan memiliki pandangan positif terhadap kegagalan. Dalam hidupnya , kegagalan bukan penghalang , tetapi menjadi teladan untuk bertekad mewujudkan hal terbaik.

Datanglah ke negeri saya

Antigone , di manakah engkau kini? Negeri saya membutuhkanmu. Kami butuh orang yang mau dengan tegas berkata ”Tidak!” demi kebenaran. Betapa sulit menegakkan kebenaran di negeri ini. Hanya alasannya ialah rayuan rupiah , banyak dari saya terjerembab kubangan kotor dunia hukum. Bayangkan , pegawanegeri aturan yang seharusnya mengatakan kebenaran justru bermain dengan skandal memalukan. Jika kebenaran sulit ditunjukkan , gimana mungkin bisa menjunjung tinggi keadilan?

Datanglah ke negeri saya , yang kian panas alasannya ialah disengat ragam hujatan sesama kaum elite. Namun , berhati-hatilah di negeri saya alasannya ialah sulit membedakan mitra atau lawan , ramah atau marah , topeng atau wajah bahu-membahu , tuntunan atau tontonan , terbuka atau dusta , bahkan demokrasi atau democrazy.

Jangan kaget , di negeri saya banyak orang tak risi mendapatkan honor tinggi ketika rakyat sulit rezeki. Ada pula orang nyaris sabung jotos di muka umum demi mempertahankan argumentasi. Dan yang menyedihkan , wakil rakyat lupa rakyat pada awal tugasnya.

Antigone , siapa tahu kedatanganmu bisa membangun nilai ideal. Masih ada orang percaya , kalau perbuatan seseorang merupakan pantulan nilai ideal mayoritas , proses kelahiran pahlawan dimulai. Kata Taufik Abdullah (2002) , inilah embrio bagi sosok panutan , berjasa bagi negara , dan mau membela yang benar.

Tak usah ragu untuk ke negeri saya alasannya ialah engkau tak bakal menemukan pesaing di sini. Di negeri saya , pahlawan seolah hanya imaji historis atau sekadar monumen Agar tak mematikan ingatan sejarah. Lebih menyedihkan , di negeri saya , pahlawan dianggap sebagai gugusan nisan di sebuah taman. Maka , sebelum negeri ini kian hancur , datanglah Antigone....

Toto Suparto Pengkaji Etika

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menunggu Antigone"

Total Pageviews