Mahkamah Konstitusi telah menghadirkan potret telanjang di hadapan kita mengenai buruknya birokrasi penegakan aturan kita.
Kita sungguh terkejut! Segala energi yang kita miliki seakan habis. Kita terasa tak lagi berdaya , menyaksikan wajah kita sendiri , wajah penegak aturan kita sendiri. Perasaan kita campur aduk. Marah. Sedih. Kecewa. Heran. Putus asa. Mengapa ini semua bisa terjadi?
Sejak berakhirnya Orde Baru , reformasi birokrasi dicanangkan. Dengan segala kekuatan dana dan energi yang kita miliki , kita berkonsentrasi untuk membuat birokrasi yang bersih. Lembaga penegak aturan , kepolisian , kejaksaan , Mahkamah Agung telah memiliki cetak biru sebagai arah reformasi birokrasi.
Mekanisme kontrol antarlembaga kita bangun. Di kepolisian ada Komisi Kepolisian Nasional. Di kejaksaan kita dirikan Komisi Kejaksaan. Di Mahkamah Agung ada Komisi Yudisial. Hampir tak ada forum yang tak terawasi , tetapi mengapa insiden itu bisa terjadi.
Kita patut mencatat , meskipun sistem politik telah berubah , kelembagaan gres telah terbentuk , sistem teknologi informasi telah membuat dunia begitu transparan , kita belum mengubah sikap kita. Kita masih menghayati kekuasaan dalam trik pikir feodal yang terus meminta untuk dilayani. Padahal , sistem politik kita telah bergerak menuju sistem politik demokrasi.
Meskipun terasa pahit , kita berharap apa yang sedang kita hadapi hari-hari ini kita jadikan momentum berbenah diri. Cara penyikapan kita atas terungkapnya potret jelek penegak aturan bakal sangat memilih apakah kita bakal bisa berdiri dari keterpurukan. Sikap untuk menolak realitas , atau mengalihkan substansi duduk kasus ke arah lain , hanyalah bakal menyulitkan kita sendiri dalam membenahi birokrasi.
Kita teringat , diskursus soal eksistensi bandit peradilan , yang mengobrak-abrik sistem peradilan kita , telah terungkap semenjak pemerintahan Orde Baru. Namun , setiap informasi itu muncul , para pejabat pemerintah hanya membantah dan membantah. Sikap menolak realitas menyebabkan kita tidak punya kesepakatan penuh untuk membenahi sistem peradilan. Akibatnya , praktik bandit peradilan masih terus dan terus saja terjadi di depan mata kita.
Komitmen nasional kita sedang diuji. Sungguhkah kita ingin membersihkan birokrasi , khususnya birokrasi sistem peradilan yang korup. Potret jelek yang telah terbuka memang bakal memengaruhi dapat dipercaya birokrasi dan sistem peradilan kita. Berlarutnya penanganan masalah Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah berpotensi mengganggu stabilitas sosial politik dan lalu ekonomi.
Para pakar perlu juga menyumbangkan anutan untuk mengatakan balasan atas apa yang terjadi dan lalu mengatakan solusi. Kita hanya berharap insiden ini kita jadikan sebagai momentum untuk membersihkan semua pihak dari oknum birokrat yang korup.
Kita sungguh terkejut! Segala energi yang kita miliki seakan habis. Kita terasa tak lagi berdaya , menyaksikan wajah kita sendiri , wajah penegak aturan kita sendiri. Perasaan kita campur aduk. Marah. Sedih. Kecewa. Heran. Putus asa. Mengapa ini semua bisa terjadi?
Sejak berakhirnya Orde Baru , reformasi birokrasi dicanangkan. Dengan segala kekuatan dana dan energi yang kita miliki , kita berkonsentrasi untuk membuat birokrasi yang bersih. Lembaga penegak aturan , kepolisian , kejaksaan , Mahkamah Agung telah memiliki cetak biru sebagai arah reformasi birokrasi.
Mekanisme kontrol antarlembaga kita bangun. Di kepolisian ada Komisi Kepolisian Nasional. Di kejaksaan kita dirikan Komisi Kejaksaan. Di Mahkamah Agung ada Komisi Yudisial. Hampir tak ada forum yang tak terawasi , tetapi mengapa insiden itu bisa terjadi.
Kita patut mencatat , meskipun sistem politik telah berubah , kelembagaan gres telah terbentuk , sistem teknologi informasi telah membuat dunia begitu transparan , kita belum mengubah sikap kita. Kita masih menghayati kekuasaan dalam trik pikir feodal yang terus meminta untuk dilayani. Padahal , sistem politik kita telah bergerak menuju sistem politik demokrasi.
Meskipun terasa pahit , kita berharap apa yang sedang kita hadapi hari-hari ini kita jadikan momentum berbenah diri. Cara penyikapan kita atas terungkapnya potret jelek penegak aturan bakal sangat memilih apakah kita bakal bisa berdiri dari keterpurukan. Sikap untuk menolak realitas , atau mengalihkan substansi duduk kasus ke arah lain , hanyalah bakal menyulitkan kita sendiri dalam membenahi birokrasi.
Kita teringat , diskursus soal eksistensi bandit peradilan , yang mengobrak-abrik sistem peradilan kita , telah terungkap semenjak pemerintahan Orde Baru. Namun , setiap informasi itu muncul , para pejabat pemerintah hanya membantah dan membantah. Sikap menolak realitas menyebabkan kita tidak punya kesepakatan penuh untuk membenahi sistem peradilan. Akibatnya , praktik bandit peradilan masih terus dan terus saja terjadi di depan mata kita.
Komitmen nasional kita sedang diuji. Sungguhkah kita ingin membersihkan birokrasi , khususnya birokrasi sistem peradilan yang korup. Potret jelek yang telah terbuka memang bakal memengaruhi dapat dipercaya birokrasi dan sistem peradilan kita. Berlarutnya penanganan masalah Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah berpotensi mengganggu stabilitas sosial politik dan lalu ekonomi.
Para pakar perlu juga menyumbangkan anutan untuk mengatakan balasan atas apa yang terjadi dan lalu mengatakan solusi. Kita hanya berharap insiden ini kita jadikan sebagai momentum untuk membersihkan semua pihak dari oknum birokrat yang korup.
TAJUK RENCANA
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menguji Kesepakatan Kita"