Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Senja Kala Pemberantasan Korupsi?

Saldi Isra

Simbol ”cicak vs buaya” lebih dari sekadar pertarungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian.

Yang sebetulnya terjadi , kulminasi pertarungan panjang antara nurani rakyat yang sudah muak dengan masifnya praktik korupsi melawan serangan balik para koruptor. Karena itu , penyelesaian skandal ”cicak vs buaya” bakal menentukan agenda pemberantasan korupsi.

Skandal ”cicak vs buaya” menjadi bukti positif rapuhnya janji pemberantasan korupsi sejumlah institusi negara. Padahal semenjak awal disadari , keberhasilan agenda pemberantasan korupsi bakal ditentukan oleh pertolongan politik dewan legislatif dan pimpinan tertinggi di direktur , aturan aturan , penegak aturan , dan pertolongan masyarakat.

Di tengah pertarungan ”cicak vs buaya” , kita sedang menyaksikan pertolongan yang terbelah untuk pemberantasan korupsi. Jika mau dibobot , pertolongan institusi negara untuk memperkuat agenda pemberantasan korupsi niscaya jauh lebih kecil daripada tahun- tahun awal reformasi. Karena itu , sekarang agenda pemberantasan korupsi tidak sedang di persimpangan jalan , tetapi bergerak menuju titik nadir.

Memudar

Bagi negara-negara yang sedang terbelit praktik korupsi masif , pertolongan dewan legislatif menjadi salah faktor penentu keberhasilan agenda pemberantasan korupsi. Keberhasilan bakal kian cepat diraih jikalau pimpinan tertinggi di direktur memberi pertolongan serupa. Dukungan itu diharapkan untuk menggerakkan pegawapemerintah penegak aturan yang ada di bawah presiden.

Meski menyisakan banyak celah , selama satu dasawarsa pertama reformasi pertolongan atas pemberantasan korupsi begitu menonjol. Buktinya , dalam periode itu berhasil dibentuk sejumlah undang-undang yang memiliki semangat luar biasa dalam memberantas korupsi. Tak terbantahkan , KPK dengan kewenangan luar biasa dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi yaitu wujud positif semangat itu.

Perlahan tetapi niscaya , semangat memberantas korupsi mulai memudar. Buktinya , dengan kewenangan legislasi , sejumlah undang-undang yang punya semangat memberantas korupsi mulai dimasalahkan. Kita ingat , gimana dewan perwakilan rakyat mengobrak-abrik sejumlah pasal dalam revisi UU KPK. Tanpa tekanan masyarakat , bisa jadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menentukan untuk kembali ke draf awal.

Bukti lain , dalam periode 2004-2009 , setrik terbuka dewan perwakilan rakyat mengintervensi pegawapemerintah penegak aturan untuk menghentikan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.

Hal yang sama juga terjadi di eksekutif. Memulai dengan moto: ”saya bakal memimpin eksklusif agenda pemberantasan korupsi” , semangat Presiden Yudhoyono untuk memberantas korupsi kian memudar. Setidaknya , pemudaran itu sanggup dilacak dari ketidakjelasan perilaku atas kriminalisasi yang menimpa unsur pimpinan (nonaktif) KPK , Bibit-Chandra , yang telah berlangsung cukup lama. Dengan dalih ”tak mau mencampuri proses hukum” , Yudhoyono memagarkan KPK porak- peranda. Karena itu , pembentukan TPF dinilai sebagai pilihan yang terlambat.

Ancaman serius

Ancaman paling serius dalam agenda pemberantasan korupsi ke depan , bangunan koalisi pemerintah dan sejumlah kekuatan politik DPR. Dengan pertolongan dominan diktatorial di dewan perwakilan rakyat , agenda pemberantasan korupsi potensial terbelenggu oleh perselingkuhan antara pemerintah dan sejumlah partai politik. Ancaman itu bakal kian positif jikalau soliditas bangunan koalisi terjaga baik. Apalagi , jikalau semangat memberantas korupsi tidak menjadi bingkai bangunan koalisi.

Terkait kekhawatiran itu , Susan Rose-Ackerman dalam Corruption and Gkelewat / overnment: Causes , Consequenscie , and Reform (1999) mengingatkan , agenda dan seni administrasi pemberantasan korupsi lebih mungkin dilaksanakan di tengah keterbatasan kekuasaan para politisi dan institusi-institusi politik. Tidak hanya itu , tambah Rose-Ackerman , perlu pemisahan antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif.

Apa yang dikhawatirkan Rose-Ackerman sedang terjadi di negeri ini. Buktinya , beberapa kali upaya menggunakan hak konstitusional dalam bentuk pengawasan anggota dewan perwakilan rakyat di tingkat komisi dibatalkan ketua DPR. Padahal , agenda yang bakal dibitrikkan terbilang isu-isu sederhana dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Jika yang sederhana saja gagal , gimana dengan info superserius menyerupai skandal Bank Century?

Yang amat menggelikan , begitu memudarnya semangat pemberantasan korupsi di dewan perwakilan rakyat , lembaga ini tidak aib melaksanakan langkah di luar logika publik. Buktinya , dewan perwakilan rakyat menyerupai menyediakan ”panggung” bagi polisi guna mengimbangi proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Seharusnya lembaga rapat kerja itu dimanfaatkan untuk mendalami sejumlah info terkait kriminalisasi atas Bibit-Chandra.

Sepanjang rapat kerja berlangsung , hampir tidak ada pertanyaan yang mendalami kasus Bibit- Chandra. Ini bukan citra keterbatasan kemampuan anggota dewan perwakilan rakyat dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Kejadian itu hanya memperkuat bukti , dewan perwakilan rakyat tidak pernah nyaman dengan sepak terjang KPK. Dengan citra itu , sulit berharap kepada kekuatan dominan dewan perwakilan rakyat menjadi barisan pendukung agenda pemberantasan korupsi.

Tidak berubah

Mendengar rekaman di MK tempo hari , sulit berharap kepada kepolisian dan kejaksaan. Bahkan , jujur harus diakui , tidak ada yang berubah di kedua institusi penegak aturan ini. Karena itu , masuk akal jikalau ada yang menilai kejaksaan dan kepolisian yaitu dua institusi paling ”menikmati” perubahan paradigma penegakan hukum. Selama tidak ada perubahan radikal , jangan berharap polisi dan kejaksaan bakal menjadi salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi.

Sebagai bawahan presiden , Kapolri dan Jaksa Agung gagal melaksanakan reformasi internal segimana diamanatkan Inpres No 5/2004 ihwal Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bahkan , kasus ”perselingkuhan” sejumlah petinggi kepolisian dan kejaksaan merupakan perbuatan berulang. Keanehan kian menggunung dikala kepolisian tak menahan Anggodo , tokoh utama di balik kriminalisasi atas Bibit-Chandra.

Banyak kalangan menilai , skandal ”cicak vs buaya” yaitu pertaruhan nama baik Presiden Yudhoyono (Kompas , 6/11). Jika benar , Presiden harus memperbaiki keadaan. Yang sulit dipahami , mengapa Yudhoyono masih mempertahankan dua petinggi ini?

Hilangnya impian kepada dewan legislatif dan pemerintah serta kepolisian-kejaksaan tidak berMakna kita kehilangan segalanya. Tidak ada istilah senja kala dalam agenda pemberantasan korupsi. Kita masih memiliki MK dan KPK mustahil dibunuh. Selain itu , konsolidasi masyarakat sipil yang terjadi selama kasus Bibit-Chandra menjadi modal besar untuk terus bertahan. Bagaimanapun , jangan pernah berhenti melawan korupsi.

Saldi Isra , Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas , Padang

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Senja Kala Pemberantasan Korupsi?"

Total Pageviews