Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam

Ulil Abshar Abdalla

SAYA meletakkanIslam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yangberkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuahmonument mati yang dipahat pada periode ke-7 Masehi , kemudian dianggap sebagai“patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat ,kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol ketika ini. Sudahsaatnya bunyi lantang dikemukakan untuk manandingi kecenderungan ini.

Sayamengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai perjuangan sederhanamenyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku ,menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yangdisuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana , take it or leaveit! Islam yang disuguhkan dengan trik demikian , amat berbahaya bagikemajuan Islam itu sendiri.

Jalansatu-satunya menuju kemajuan Islam yakni dengan mempersoalkan trik kitamenafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu , kita memerlukan beberapa hal.

Pertama ,penafsiran Islam yang non-literal , substansial , kontekstual , dan sesuai dengandenyut nadi peradaban insan yang sedang dan terus berubah.

Kedua ,penafsiran Islam yang sanggup memisahkan mana unsure-unsur di dalamnya yangmerupakan kreasi budaya setempat , dan mana yang merupakan nilai fundamental.Kita harus bisa membedakan mana anutan dalam Islam yang merupakan pengaruhkultur Arab dan mana yang tidak.

Islam itukontekstual , dalam pengertian , nilai-nilainya yang universal harusditerjemahkan dalam konteks tertentu , contohnya konteks Arab , Melayu , AsiaTengah , dan seterusnya. Tetapi , bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanyaekspresi budaya dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.

Aspek-aspekIslam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab , contohnya , tidak usah diikuti.Contoh , soal jilbab , potong tangan , qishash , rajam , jenggot , jubah ,tidak wajib diikuti , lantaran itu hanya ekspresi lokal pMaknacular Islam di Arab.

Yang harusdiikuti yakni nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbabintinya yakni mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (publicdecency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuaiperkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.

Ketiga , Umat Islamhendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yangterpisah dari golongan yang lain. Umat insan yakni keluarga universal yangdipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan yakni nilai yangsejalan , bukan berlawanan dengan Islam.

Larangan kawinbeda agama , dalam hal ini antara wanita Islam dengan lelaki non-Islam , sudahtidak relevan lagi. Alquran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu ,karna Alquran menganut pandangan universal wacana martabat insan yang sederajat ,tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hokum Islam klasik yang membedakanantara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkanprinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.

Keempat , kitamembutuhkan struktur sosial yang dengan terperinci memisahkan mana kekuasaan politikdan mana kekuasaan agama. Agama yakni urusan pribadi; sementara pengaturankehidupan public yakni sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melaluiprosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu dibutuhkan ikut membentuknilai-nilai publik , tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnyapMaknacular yakni urusan masing-masing agama.

Menurut saya ,tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian ibarat dipahamikebanyakan orang Islam. Misalnya , hokum Tuhan wacana pencurian , jual beli ,pernikahan , pemerintahan , dan sebagainya. Yang ada yakni prinsip-prinsip umumyang universal yang dalam tradisi pengkajian aturan Islam klasik disebut sebagai maqashidusysyari’ah atau tujuan umum syariat Islam.

Nilai-nilai ituadalah santunan atas kebebasan beragama , nalar , kepemilikan , keluarga /keturunan , dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai ituditerjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu , itu yakni urusanmanusia Muslim sendiri.

***

BAGAIMANAmeletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini?Menurut saya , Rasul Muhammad SAW yakni tokoh histories yang harus dikajidengan kritis , (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja , tanpa memandangaspek-aspek dia sebagai insan yang juga banyak kekurangannya) , sekaliguspanutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).

Bagaimanamengikuti Rasul? Di sini , saya memiliki perbedaan dengan pandangan dominan.Dalam perjuangan menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah , Rasultentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkancita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah , tetapi Islam segimanadiwujudkan di sana yakni Islam historis , pMaknakular , dan kontekstual.

Kita tidakdiwajibkan mengikuti Rasul setrik harfiah , lantaran apa yang dilakukan olehnya diMadinah yakni upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengansituasi sosial di sana dengan seluruh hambatan yang ada. Islam di Madinah adalahhasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yangpMaknakular”.

Umat Islamharus ber-ijtihad mencari formula gres dalam menerjemahkannilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul diMadinah yakni salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal dimuka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan trik lain ,dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others ,salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.

Oleh karnaitu , umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat referensi di Madinah saja ,sebab kehidupan insan terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagisaya , wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turunkepada manusia. Wahyu lisan memang telah selesai dalam Alquran , tetapi wahyunonverbal dalam bentuk ijtihad akal insan terus berlangsung.

Temuan-temuanbesar dalam sejarah insan sebagai kepingan dari perjuangan menuju perbaikan mutukehidupan yakni wahyu Tuhan pula , lantaran temuan-temuan itu dilahirkan olehakal insan yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu , seluruh karya ciptamanusia , tidak peduli agamanya , yakni milik orang Islam juga; tidak adagunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradabanBarat: yang satu dianggap unggul , yang lain dianggap rendah. Sebab , setiapperadaban yakni hasil karya insan , dan lantaran itu milik semua bangsa ,termasuk milik orang Islam.

Umat Islamharus membuatkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongantertentu bukanlah paling benar dan mutlak , lantaran itu harus ada kesediaan untukmenerima dari semua sumber kebenaran , termasuk yang datangnya dari luar Islam.Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islamberdasarkan sudut pandangnya sendiri , yang harus di-“lawan” yakni setiap usahauntuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

Sayaberpandangan lebih jauh lagi , setiap nilai kebaikan , di mana pun tempatnya ,sejatinya yakni nilai Islam juga. Islam — ibarat pernah dikemukakan Cak Nurdan sejumlah pemikir lain — yakni “nilai generis” yang bisa ada di Katolik ,Hindu , Buddha , Konghucu , Yahudi , Taoisme , agama dan kepercayaan lokal , dansebagainya. Bisa jadi , kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.

Saya tidak lagimemandang bentuk , tetapi isi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianutoleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” danforma; bukan itu yang penting. Yang pokok yakni nilai yang tersembunyi dibaliknya.

Amat konyolumat insan bertikai lantaran perbedaan “baju” yang digunakan , sementara merekalupa , inti “menggunakan baju” yakni menjaga martabat insan sebagai makhlukberbudaya. Semua agama yakni baju , sarana , wasilah , alat untukmenuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.

Ada periode dimana umat beragama menganggap , “baju” bersifat mutlak dan segalanya , lalupertengkaran muncul lantaran perbedaan baju itu. Tetapi , pertengkaran semacam itutiak layak lagi untuk dilanggengkan kini.

***

MUSUH semuaagama yakni “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam yakni keadilan. MisiIslam yang saya anggap paling penting kini yakni gimana menegakkankeadilan di muka bumi , terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga dibidang budaya) , bukan menegakkan jilbab , mengurung kembali wanita ,memelihara jenggot , memendekkan ujung celana , dan tetek bengek problem yangmenurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisahanya dikhotbahkan , tetapi harus diwujudkan dalam bentuk system dan aturanmain , undang-undang , dan sebagainya , dan diwujudkan dalam perbuatan.

Upayamenegakkan syariat Islam , bagi saya , yakni wujud ketidakberdayaan umat Islamdalam menghadapi problem yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan trikrasional. Umat Islam menganggap , semua problem bakal selesai dengan sendirinyamanakala syariat Islam , dalam penafsirannya yang udik dan dogmatis , diterapkandi muka bumi.

Masalahkemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukumTuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; saya hanyapercaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal) , tetapi harus merujuk padahukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiridalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri , bidangekonomi mengenal hukumnya sendiri , bidang sosial mengenal hukumnya sendiri , danseterusnya.

Kata Nabi ,konon , man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmiwa man aradadakhirata fa’alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalahkeduniaan , hendaknya menggunakan ilmu , begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaandi dunia “nanti” , juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan , dan tidakbisa semena-mena merujuk kepada aturan Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu.Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang , sesuaiperkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan , dengandemikian , juga ikut berkembang.

Sudah tentuhukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tundukkepada nilai primer , yaitu keadilan. Karena itu , syariat Islam , hanya merupakansehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya aneh dan universal; gimananilai-nilai itu menjadi konkret dan sanggup memenuhi kebutuhan untuk menanganisuatu problem dalam periode tertentu , sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusiaitu sendiri.

Pandangan bahwasyariat yakni suatu “paket lengkap” yang sudah jadi , suatu resep dari Tuhanuntuk menuntaskan problem di segala zaman , yakni wujud ketidaktahuan danketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukansyariat Islam sebagai solusi atas semua problem yakni sebentuk kemalasanberpikir , atau lebih parah lagi , merupakan trik untuk lari dari masalah;sebentuk eskapisme dengan menggunakan alasan aturan Tuhan.

Eskapismeinilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisamenerima “kemalasan” semacam ini , apalagi jika ditutup-tutupi dengan alasan ,itu semua demi menegakkan aturan Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada aturan Tuhan ,yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yangdimiliki semua umat manusia.

Musuh Islampaling berbahaya kini ini yakni dogmatisme , sejenis keyakinan yangtertutup bahwal suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semuamasalah , dan mengabaikan bahwa kehidupan insan terus berkembang , danperkembangan peradaban insan dari dulu sampai kini yakni hasil usahabersama , akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrinyang hendak membangun tembok antara “saya” dengan “mereka” , antara hizbulLah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongansetan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu , antara “Barat” dan“Islam”; doktrin demikian yakni penyakit sosial yang bakal menghancurkan nilaidasar Islam itu sendiri , nilai wacana kesederajatan umat insan , nilaitentang insan sebagai warga dunia yang satu.

Pemisah antara“saya” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme , mengingkari kenyataan bahwakebenaran bisa dipelajari di mana-mana , dalam lingkungan yang disebut “saya”itu , tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan , ilmu Tuhanlebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antaralembaran-lembaran Quran.

Ilmu Tuhanadalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran“Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci” , lembaran-lembaran pengetahuan yangdihasilkan nalar insan , serta kebenaran yang belum sempat terkatakan , apalagitertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan , dengan demikian , lebihbesar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosialyang berjulukan umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Alquran , Hadis danseluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.

Oleh karnaitu , Islam bahwasanya lebih sempurna disebut sebagai sebuah “proses” yang takpernah selesai , ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati , baku , beku , jumud ,dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS3 : 19) , lebih sempurna diterjemahkan sebagai , “Sesungguhnya jalan religiusitasyang benar adalah proses yang-tak-pernah selesai menuju ketundukan(kepada Yang Maha Benar).”

Dengan tanparasa sungkan dan kikuk , saya menyampaikan , semua agama yakni sempurna berada padajalan ibarat itu , jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama , dengandemikian , yakni benar , dengan variasi , tingkat dan kadar kedalaman yangberbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalamsatu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaranyang tak pernah ada ujungnya.

Maka , fastabiqulkhairat , kata Alquran (QS 2 : 148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalanreligiusitas itu.

Syarat dasarmemahami Islam yang sempurna yakni dengan tetap mengingat , apa pun penafsiranyang kita bubuhkan atas agama itu , patokan utama yang harus menjadi kerikil ujiadalah maslahat manusia itu sendiri.

Agama adalahsuatu kebaikan buat umat manusia; dan lantaran insan yakni organisme yangterus berkembang , baik setrik kuantitatif dan kualitatif , maka agama juga harusbisa membuatkan diri sesuai kebutuhan insan itu sendiri. Yang ada adalahhukum insan , bukan aturan Tuhan , lantaran manusia stake holder yangberkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islamhendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusiaitu sendiri , atau malah menindas kemanusiaan itu , maka Islam yang semacam iniadalah agama fosil yang tak lagi memiliki kegunaan buat umat manusia.

Mari kita cariIslam yang lebih segar , lebih cerah , lebih memenuhi maslahat manusia.Mari kita tinggalkan Islam yang beku , yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusiaitu sendiri.

ULILABSHAR-ABDALLAKoordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) , Jakarta


0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam"

Total Pageviews