Oleh IVAN A HADAR
Umumnya investasi pribadi abnormal atau FDI dianggap positif. Sejak dua dekade terakhir , berbarengan penurunan jumlah utang berbunga rendah yang menjadi sumber utama dana pembangunan di banyak negara berkembang , terjadi peningkatan drastis FDI.
Ketika dana publik untuk biaya pembangunan tidak mencukupi , kita perlu mencari alternatif dana dari sumber lain. Terkait hal ini , oleh banyak pihak , FDI dianggap paling bermanfaat dari segi kebijakan pembangunan. Dalam kondisi ideal , sebuah perusahaan abnormal yang melaksanakan investasi di negara berkembang memuluskan transfer teknologi , membuka lapangan kerja , menstimulasi industri , dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Diyakini , FDI selain tidak meningkatkan utang luar negeri juga tidak gampang hengkang dikala krisis.
Bahkan dalam New Horizons for Foreign Direct Investment (OECD 2002) , Michael Klein dari Bank Dunia menyebut FDI yakni alat terampuh memerangi kemiskinan. Maka , hukum yang mensyaratkan investor abnormal Agar bekerja sama dengan pemasok dalam negeri dianjurkan dihapus. Hal yang sama terkait regulasi yang mensyaratkan sebanyak mungkin menggunakan produk lokal , menghindari impor materi baku untuk produksi. Penghapusan aneka macam hukum itu konon meningkatkan pertumbuhan ekspor perusahaan kendaraan beroda empat abnormal yang beroperasi setrik tajam.
Pengaruh
Namun , bunyi yang tidak sependapat dan bertanya siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan itu juga perlu dipertimbangkan. Begitu pula dengan dampak pemutusan korelasi kerja dengan pemasok dan perusahaan lokal. Lalu , apa pengaruhnya terhadap lapangan kerja dalam negeri. Jawaban atas pertanyaan itu diharapkan sebagai materi analisis kebijakan pembangunan.
Bob Woodword dalam buku The Next Crisis? Direct and Equity Investment in Developing Countries (2001) mengingatkan , FDI jarang membawa berkah. Arus yang masuk bersamaan FDI sering jauh lebih kecil dibandingkan dengan arus ke luar. Kondisi itu terkait transfer keuntungan ke luar negeri dan pengeluaran impor yang dibutuhkan untuk produksi. Bahkan , bagi Woodword , FDI sanggup menyebabkan defisit neraca anggaran belanja sebuah negara , dengan demikian sebetulnya ikut mempertajam krisis utang luar negeri.
Liberalisasi
Dalam Undang-Undang Penanaman Modal pertama (No 1/1967) , beberapa bidang perjuangan dihentikan dimasuki modal asing. Pelabuhan , pembangkitan dan transmisi listrik , telekomunikasi , pendidikan , penerbangan , air minum , KA , tenaga nuklir , serta media dikategorikan bidang perjuangan bernilai strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat , yang tidak boleh dipengaruhi pihak abnormal (Pasal 6 Ayat 1).
Setahun lalu , UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No 6/1968) menyebut , ”Perusahaan nasional yakni perusahaan yang sekurangnya 51 persen dari modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki negara dan/atau , swasta nasional” (Pasal 3 Ayat 1). Dengan kata lain , pemodal abnormal hanya boleh memiliki modal sebanyak-banyaknya 49 persen dalam sebuah perusahaan.
Namun , pada tahun 1994 pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin investor abnormal sanggup memiliki sampai 95 persen saham perusahaan yang bergerak di bidang ”...pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan , pelayaran , KA; air minum; pembangkit tenaga nuklir; dan media” (PP No 20/1994 Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 5 Ayat 1).
Pada International Infrastructure Summit (17/1/2005) dan BUMN Summit (25-26/1/2005) diputuskan setrik eksplisit , semua proyek infrastruktur dibuka bagi investor abnormal untuk menerima keuntungan , tanpa perkecualian. Pembatasan hanya bakal tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga terperinci menyatakan , tidak bakal ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia atau bisnis abnormal yang beroperasi di Indonesia.
BUMN Summit terperinci menyatakan , semua BUMN sanggup dijual pada sektor privat. Dengan kata lain , tak bakal ada lagi barang dan jasa yang disediakan pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Di masa depan , semua barang dan jasa bagi publik bakal menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni alasannya motif untuk menerima laba.
Rembuk Nasional (National Summit) , 29-31 Oktober 2009 , antara lain , bermaksud ”menyapu bersih” aneka macam peraturan yang dinilai menghambat tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tahun 2014 (Kompas , 29/10/2009). Demi efisiensi dan pemerintahan yang higienis , maksud itu patut didukung.
Namun , bunyi kritis mencemaskan , semua kebijakan dan keputusan beberapa pertemuan puncak itu menawarkan , proses liberalisasi sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia. Dorongan untuk meningkatkan FDI di Indonesia dirasa telah menyingkirkan semangat ayat-ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis.
IVAN A HADAR Pemerhati Sosial-Ekonomi; Co-Pemred Jurnal SosDem
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Perlu Menimbang Manfaat Investasi Langsung"