Oleh Yasraf Amir Piliang
Sebuah rekaman pembitrikan—yang dicurigai berisi rekayasa ”kriminalisasi” Komisi Pemberantasan Korupsi—hari-hari ini layaknya ”batu bertuah” dalam dongeng misteri , yang diperebutkan , didiskusikan , dianalisis , ditranskrip , digandakan , ditayangkan , dan didesiminasikan setrik luas.
Rekaman itu ialah ”kunci” menuju ”kamar rahasia” , daerah ”kesaktian” tingkat tinggi diadu di antara para petinggi aturan (Polri , Kejaksaan Agung , KPK) dalam memperebutkan klaim ”kebenaran”.
Rekaman pembitrikan itu meninggalkan enigma: orisinalitas rekaman , otentisitas para bintang film , kebenaran isi , pembuat rekayasa dan motif di baliknya. Apa yang kita saksikan ialah parade ”unjuk kekuasaan” dalam ”menafsir” kebenaran. Segala kapasitas ”bahasa hukum” dikerahkan; segala legitimasi digunakan , termasuk legitimasi ”Tuhan”; bahkan segala instrumen kekuasaan digunakan dalam melegitimasi ”penangkapan” dua mantan anggota KPK , Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah.
Kelak , pembuktian simulakra kriminalisasi ini merupakan cermin peristiwa memalukan yang melanda dunia hukum. Penegak aturan yang mestinya menegakkan kebenaran sekarang justru memproduksi ”realitas palsu”: daerah , orang , motif , suap , dan transfer palsu. ”Rezim kebenaran” sebagai instrumen dan mekanisme institusional dalam membangun ”ranah kebenaran” sekarang bermetamorfosis menjadi ”rezim simulakra kebenaran” , realitas dipalsukan , pengetahuan ”diperkosa” , isu dilencengkan , dan kebenaran ”dibunuh”.
Simulakra kebenaran
Rezim simulakra ialah rezim yang memproduksi ”kebenaran palsu” demi sebuah kepentingan atau motif tertentu (politik , ekonomi , sosial). Di dalamnya , realitas alami dikemas menjadi barang bukti sebagai instrumen sentral dalam menghasilkan ”kebenaran” hukum. Tetapi , jikalau ”realitas alami” itu tak ditemukan—sementara motif penangkapan kian mendesak—diciptakan ”realitas Maknafisial” melalui kekuatan teknologi mutakhir. Inilah simulasi realitas.
Jean Baudrillard dalam The Gulf War did not Take Place (1995) menyampaikan , simulasi ialah instrumen sosio-teknologis dalam penciptaan realitas yang sebetulnya tak ada , tetapi seolah tampak ada. Manfaat simulasi ialah penciptaan ”model palsu realitas” , kenyataan distortif , pelencengan fakta dan gambaran ketaknyataan. Simulasi ialah sebuah ”prostitusi citra” , sebab ”citra murahan” direkayasa , untuk meyakinkan , ada realitas (penyelewengan , penyuapan , penyalahgunaan jabatan) , padahal tak pernah ada.
Dalam rekaman pembitrikan , Polisi Republik Indonesia dicurigai merekayasa ”simulasi realitas”—dengan melibatkan bintang film , instrumen , media , dan prasarana—yang kelak bakal diproduksi menjadi sebuah ”citra realitas” , di atas fondasi sebuah ”motif” (”kriminalisasi”). Namun , rencana ini tertangkap tangan oleh instrumen teknologi isu (penyadapan) sehingga citra-citra ”kriminal” (suap , penyalahgunaan wewenang) yang dituduhkan kepada mantan anggota KPK gagal diproduksi.
Kegagalan itu memaksa Polisi Republik Indonesia memproduksi ”motif” baru. Polisi Republik Indonesia balik menuduh , rekaman percakapan itu ialah produk rekayasa (baca: simulakra) pihak-pihak tak bertanggung jawab dalam mendiskreditkan , membunuh abjad , dan menghancurkan gambaran baik Polri. Tuduhan simulakra dibalas tuduhan simulakra. ”Perang simulakra” ini justru mengakibatkan posisi Polisi Republik Indonesia kian terpojok sebab tak didukung publik. Sementara ”rezim kebenaran” kian sesak kepalsuan , delusi , dan halusinasi.
Bagaimanapun , simulakra menyuguhkan ”logika” memaknai realitas. Gilles Deleuze dalam The Logic of Sense (1990) menyatakan , simulakra sebagai sebuah realitas ”tangan kedua” , sebuah motif ”seolah” , sebuah penyimpangan. Maka , ketika wacana aturan sekarang dibangun oleh ”realitas tangan kedua” , proses aturan digerakkan oleh aneka instrumen perkiraan , konotasi , persuasi , interpretasi , dan seduksi , bukan obyektivitas dan profesionalitas.
Seduksi hukum
”Kebenaran” dalam wacana aturan ialah sesuatu yang dicari melalui ”proses hukum” , yaitu di ruang pengadilan. Namun , apa yang sekarang berlangsung dalam karut-marut perseteruan Polisi Republik Indonesia dan KPK ialah situasi di mana ”kebenaran” dipertarungkan dalam ruang wacana: dalam pernyataan , perbincangan , opini , obrolan , debat , dan konferensi pers. Di dalam media-media itulah kebenaran diperjualbelikan.
Namun , sebab tak ada mekanisme aturan di ruang wacana untuk menguji obyektivitas pembitrikan , yang ada hanya ”bujukan”: trik , argumen , taktik , taktik , pencitraan , bahkan trik-trik palsu (baca simulakra) untuk meyakinkan kita bahwa apa yang dikatakan ”benar” , meskipun sebetulnya palsu. Inilah medan seduksi , yaitu medan bujuk rayu kebenaran.
Dalam Seduction (1990) , Jean Baudrillard menyampaikan , seduksi ialah rayuan , permainan kebenaran , tantangan , duel , taktik penampakan , untuk meyakinkan bahwa yang fiktif itu ”nyata”.
Polri yang kian terpojok oleh tekanan masyarakat sipil sekarang memainkan ”strategi seduksi” , yaitu ”merayu” publik semoga percaya bahwa Polisi Republik Indonesia tak pernah merekayasa kriminalisasi. Mereka memainkan ”permainan tanda” dan pemalsuan realitas sebagai trik membangun ”citra bersih” Polisi Republik Indonesia dan ”citra kriminal” dua mantan anggota KPK. Di sini , realitas aturan direduksi menjadi realitas-realitas tanda , yaitu gejala palsu , untuk melencengkan realitas sebenarnya.
Saat wacana aturan kian sesak oleh simulakra—ironisnya justru diproduksi pegawapemerintah aturan sendiri—perbincangan perihal kebenaran dan keadilan kian mustahil. Dicurigai ada diam-diam kebenaran yang ingin ditutupi dalam institusi aturan itu sendiri (Polri , Kejaksaan Agung) , yang jikalau terbuka di hadapan publik bakal mengancam reputasinya. Maka , untuk menyembunyikan kebenaran itu , diciptakan realitas Maknafisial (suap , kriminalitas) , yang melibatkan pihak yang mengetahui diam-diam kebenaran itu.
Hantu-hantu kebenaran
Institusi penegak hukum— khususnya Polri—kini disibukkan politik menjaga gambaran diri , dengan melibatkan tidak saja permainan tanda , gambaran , dan seduksi , tetapi juga pengetahuan dan kekuasaan. Politik pencitraan menggiring pada hilangnya rasionalitas , obyektivitas , dan rasa kebenaran. Otoritas kekuasaan digunakan membabi buta tidak saja untuk menjatuhkan gambaran lawan , tetapi melaksanakan tindakan pemaksaan penangkapan.
Michel Foucault dalam Power (1981) menyampaikan , dalam wacana aturan , ada korelasi timbal balik antara rezim kebenaran dan instrumen kekuasaan. Realitas diterima sebagai benar oleh masyarakat jikalau ada check and balances dalam permainan kekuasaan dalam rezim kebenaran. Namun , jikalau ada ”ekses kekuasaan” , di mana sebuah komponen rezim kebenaran menggunakan kekuasaannya setrik berlebihan dan mencolok dalam mendefinisikan kebenaran , yang dihasilkan ialah hantu-hantu kebenaran.
Kini , ketika pemangku rezim kebenaran tak lagi dipercaya masyarakat sipil—karna dicurigai tak lebih dari rumah produksi simulakra kebenaran dan gambaran kepalsuan—sebuah kekuatan dahsyat masyarakat sipil terbentuk dalam membangun ”rezim kebenaran” sendiri , segimana ditunjukkan oleh tunjangan ratusan ribu orang terhadap Bibit-Chandra dalam Facebook.
Masyarakat sipil yang kian kritis sekarang tak lagi sanggup dimanipulasi oleh rekayasa simulasi gambaran tanpa etika. Kebenaran yang tak sanggup diperlukan dari institusi aturan sekarang dibangun di ruang-ruang publik virtual.
Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute;
Pemikir Forum Studi Kebudayaan FSRD Institut Teknologi Bandung
Pemikir Forum Studi Kebudayaan FSRD Institut Teknologi Bandung
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Hantu-Hantu Kebenaran"