Kita punya banyak catatan yang mengatakan selama ini Amerika Serikat menganut kebijakan yang tegas terhadap Myanmar.
Dalam banyak sekali kesempatan , negara adikuasa ini bitrik wacana perlunya rezim di Myanmar berubah atau menghadapi pengucilan internasional yang makin luas. Selain AS , negara-negara Eropa pun menempuh garis serupa. ASEAN pun mengatakan perkembangan perilaku ke arah makin blakblakan. Namun , sejauh ini , rezim militer bergeming.
Apakah hal itu kemudian memicu AS untuk mengubah kebijakannya? Untuk menjawabnya , kita perlu menganalisis lebih dalam. Namun , yang terperinci , pekan ini AS mengirimkan satu delegasi pejabat tinggi ke Myanmar. Mereka telah bertemu dengan penguasa militer pada hari Selasa , dan juga dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi hari Rabu kemarin. Inilah pembitrikan tingkat tinggi pertama antara AS dan junta dalam 14 tahun terakhir.
Lawatan dua hari oleh Asisten Menlu AS Kurt Campbell dan wakilnya , Scot Marciel , terperinci menyimbolkan perubahan kebijakan dari pemerintahan George W Bush ke Barack Obama. Jika Bush cenderung pada kebijakan isolasi , Obama lebih menentukan pembitrikan eksklusif , tingkat tinggi , dengan rezim militer.
Sasaran dari kebijakan menjalin obrolan dengan junta ini sepertinya yaitu untuk mendesakkan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil tahun depan. Pengamat lain , menyerupai dikutip kantor info Reuters , menyebutkan , perubahan kebijakan yang bernuansa mendekat kembali (rapprochement) itu tak lepas dari pertimbangan geopolitik , yang memperhitungkan meningkatnya dampak regional China. Sementara juru bitrik Deplu AS , Ian Kelly , menyebut lawatan ini ”pada dasarnya bersifat misi inovasi fakta” yang ditujukan untuk memajukan obrolan yang belum usang ini disepakati di antara kedua negara.
Melalui lawatan pejabat Deplu ini , dibutuhkan AS dapat mendapat citra mengenai seberapa serius para jenderal di Myanmar memandang perlunya reformasi demokrasi. Sekadar catatan , prakarsa menjalin obrolan dengan Myanmar muncul sehabis Campbell bertemu dengan Menteri Sains , Teknologi , dan Tenaga Kerja Myanmar di New York , September lalu.
Kita melihat kedatangan dua pejabat tinggi AS di Myanmar merupakan sinyal awal dari satu perubahan kebijakan. Bagaimana kelanjutannya , hal itu masih perlu waktu untuk menyimpulkannya.
Pertanyaannya , apakah kesannya bakal membuat Myanmar mau membuka diri atau malah mengakibatkan itu sebagai penambah legitimasi bagi junta? Sekarang ini ketidaksediaan jenderal senior Than Shwe untuk bertemu dengan Campbell sudah menjadi ukuran bahwa junta tak siap untuk berkompromi.
Dalam banyak sekali kesempatan , negara adikuasa ini bitrik wacana perlunya rezim di Myanmar berubah atau menghadapi pengucilan internasional yang makin luas. Selain AS , negara-negara Eropa pun menempuh garis serupa. ASEAN pun mengatakan perkembangan perilaku ke arah makin blakblakan. Namun , sejauh ini , rezim militer bergeming.
Apakah hal itu kemudian memicu AS untuk mengubah kebijakannya? Untuk menjawabnya , kita perlu menganalisis lebih dalam. Namun , yang terperinci , pekan ini AS mengirimkan satu delegasi pejabat tinggi ke Myanmar. Mereka telah bertemu dengan penguasa militer pada hari Selasa , dan juga dengan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi hari Rabu kemarin. Inilah pembitrikan tingkat tinggi pertama antara AS dan junta dalam 14 tahun terakhir.
Lawatan dua hari oleh Asisten Menlu AS Kurt Campbell dan wakilnya , Scot Marciel , terperinci menyimbolkan perubahan kebijakan dari pemerintahan George W Bush ke Barack Obama. Jika Bush cenderung pada kebijakan isolasi , Obama lebih menentukan pembitrikan eksklusif , tingkat tinggi , dengan rezim militer.
Sasaran dari kebijakan menjalin obrolan dengan junta ini sepertinya yaitu untuk mendesakkan pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil tahun depan. Pengamat lain , menyerupai dikutip kantor info Reuters , menyebutkan , perubahan kebijakan yang bernuansa mendekat kembali (rapprochement) itu tak lepas dari pertimbangan geopolitik , yang memperhitungkan meningkatnya dampak regional China. Sementara juru bitrik Deplu AS , Ian Kelly , menyebut lawatan ini ”pada dasarnya bersifat misi inovasi fakta” yang ditujukan untuk memajukan obrolan yang belum usang ini disepakati di antara kedua negara.
Melalui lawatan pejabat Deplu ini , dibutuhkan AS dapat mendapat citra mengenai seberapa serius para jenderal di Myanmar memandang perlunya reformasi demokrasi. Sekadar catatan , prakarsa menjalin obrolan dengan Myanmar muncul sehabis Campbell bertemu dengan Menteri Sains , Teknologi , dan Tenaga Kerja Myanmar di New York , September lalu.
Kita melihat kedatangan dua pejabat tinggi AS di Myanmar merupakan sinyal awal dari satu perubahan kebijakan. Bagaimana kelanjutannya , hal itu masih perlu waktu untuk menyimpulkannya.
Pertanyaannya , apakah kesannya bakal membuat Myanmar mau membuka diri atau malah mengakibatkan itu sebagai penambah legitimasi bagi junta? Sekarang ini ketidaksediaan jenderal senior Than Shwe untuk bertemu dengan Campbell sudah menjadi ukuran bahwa junta tak siap untuk berkompromi.
TAJUK RENCANA
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: As Ubah Kebijakan Soal Myanmar"