Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Nurani Publik Terusik

Oleh Sarlito Wirawan Sarwono

Setelah gonjang-ganjing cicak lawan buaya berlangsung usang , kesudahannya Jumat (30/10) sore Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun gunung dan berfatwa.

Intinya , Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah tak perlu ditahan. Namun , Presiden tidak mau campur tangan dalam urusan yudikatif. Maka , soal penahanan diserahkan ke Polisi Republik Indonesia , dan Polisi Republik Indonesia harus memberi klarifikasi kepada publik. Kedua , Presiden tak berniat membubarkan KPK. Bahkan , Presiden bakal bangun paling depan menentang pembubaran KPK.

Sekitar dua jam Setelah Presiden bitrik , pukul 17.00 Trunojoyo 1 (panggilan sandi untuk Kapolri) memberi klarifikasi kepada publik menyerupai diperintahkan presiden. Isinya , kronologi jalannya investigasi , mulai dari memo Antasari Azhar hingga sekarang , lengkap dengan pasal-pasal undang-undang yang alasannya yaitu masih dibutuhkan guna penyidikan dan bakal dibuka di pengadilan. Suatu konferensi pers yang lengkap.

Namun , lengkap dan tuntas itu tak meredakan gunjingan di luar , justru bertambah seru. Di stasiun-stasiun televisi , dikala konferensi pers Kapolri ditutup , pribadi digelar aneka diskusi yang isinya tidak lain murka , dongkol , frustrasi , dan semua adonan emosi negatif. Kata-kata yang diminta SBY dan Kapolri tak digunakan lagi alasannya yaitu dinilai dapat menambah keruh situasi , menyerupai ”bubarkan KPK” , ”kriminalisasi KPK” , dan ”konflik Polri-KPK” , Bahkan , dijadikan kata-kata kunci untuk terus dipolemikkan. Akibatnya , kian kisruh. Saking kisruhnya , sampai-sampai pada Minggu (1/11) malam Presiden memanggil beberapa tokoh nasional untuk dimintai masukan. Masukan mereka , pembentukan tim pencari fakta segera dikabulkan.

Tak dapat kendalikan opini
Namun , yang menarik disimak yaitu , seorang Presiden SBY tak dapat menghentikan kekisruhan menyerupai ini. Hal menyerupai ini tak pernah terjadi pada kurun Soeharto yang dinilai tidak demokratis dan lebih mementingkan kroni-kroninya. Dalam duduk masalah apa pun , termasuk masalah hama wereng dan kutu loncat , dikala Menteri Penerangan Harmoko , seusai menghadap Soeharto , bitrik di depan pers , ”Menurut petunjuk bapak Presiden...” , maka selesailah semuanya. Tidak ada yang berani ngomong lagi. Tuntas!

Sementara itu , SBY , yang terang dipilih rakyat untuk kedua kali dengan kemenangan telak , justru tidak dapat mengendalikan opini yang berkembang liar tak terkendali. Yang mendirikan KPK yaitu Megawati , bukan SBY. Ketika besannya sendiri dipenjarakan oleh KPK , SBY hanya dapat mengiringi dengan doa dan sama sekali tidak mau campur tangan.

Bahkan , kalimatnya amat gamblang bahwa beliau bakal bangun paling depan untuk menghadang orang yang mau membubarkan KPK , tidak digubris sama sekali. Publik tetap saja menuduh seakan ada konspirasi yang melibatkan presiden untuk membubarkan KPK. Bahkan , sederet tokoh nasional kondang nrimo untuk ikut ditahan menemani Bibit- Chandra , termasuk Adnan Buyung Nasution dan Gus Dur.

Pertanyaannya sekarang , mengapa publik menjadi tuli? Itu bukan tuli bahwasanya , tetapi tuli alasannya yaitu emosi. Semua orang , termasuk para pakar tingkat nasional itu , tahu bahwa Polisi Republik Indonesia yaitu polisi terbaik di dunia dalam kontraterorisme. Kaprikornus , publik tidak tuli.

Nurani terusik
Namun , ketika bangsa ini sedang bergulat untuk mengatasi krisis , KPK menjelma satu-satunya institusi andalan , bukan Polisi Republik Indonesia , apalagi kejaksaan. Padahal , semula KPK juga dicaci maki dengan warta babat pilih. Ketika keinginan publik hanya tergantung pada seutas tali yang berjulukan KPK , publik bakal panik dan emosional ketika eksistensi KPK terancam. Kaprikornus , bukan Bibit-Chandra yang menjadi warta pokok , tetapi eksistensi KPK. Jika Bibit-Chandra terlibat masalah di institusi lain , sangat boleh jadi para tokoh ini bakal ikut ramai- ramai menghujatnya. Padahal , pokok duduk masalah pada Polisi Republik Indonesia yaitu masalah Bibit-Chandra.

Kesimpulannya , dikala nurani publik terusik , polisi terbaik di dunia pun harus siap untuk disidik dan diselidik.

Sarlito Wirawan Sarwono Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian , Program Pascasarjana , Universitas Indonesia

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Nurani Publik Terusik"

Total Pageviews