Oleh Eep Saefulloh Fatah
Sambil aib menyaksikan ”kehebatan” kerja kepolisian dalam kasus Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto , saya menyerupai terkepung kata ”kriminalisasi”.
Beberapa hari ini saya bertemu sejumlah orang yang mengaku tak paham Makna ”kriminalisasi” , terutama terkait masalah yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bukan pertama
Sejauh ingatan saya , penggunaan kata ”kriminalisasi” dalam masalah KPK hari-hari ini bukanlah yang pertama. Kata itu kerap dipakai kalangan penggagas pada masa Orde Baru. Yang paling dramatis yaitu kriminalisasi penduduk Kedung Ombo , Jawa Tengah , tahun 1985. Pemerintah membangun waduk untuk menjadi pembangkit listrik 22 ,5 megawatt dengan biaya dari Bank Dunia (156 juta dollar AS) , Bank Exim Jepang (25 ,2 juta dollar AS) , dan APBN 1985-1989. Untuk itu , 5.268 keluarga di 37 desa , tujuh kecamatan di Kabupaten Sragen , Boyolali , dan Grobogan kehilangan tanahnya untuk pembangunan waduk itu.
Namun , sebab tiap meter persegi tanah penduduk hanya dihargai pemerintah setara dengan satu batang rokok , penduduk menolak pembebasan tanahnya. Perlawanan ini bermetamorfosis gerakan sosial melibatkan penggagas prodemokrasi dan mahasiswa dari spektrum sosial , politik , dan ideologi beragam.
Lalu terjadilah ”kriminalisasi” penduduk Kedung Ombo. Puncaknya , Presiden Soeharto menyebut mereka sebagai bandel (mbalelo) , mengganggu pembangunan dan stabilitas nasional. Kata kriminalisasi dipakai guna menggambarkan pelekatan identitas kriminal setrik keliru kepada mereka yang memperjuangkan hak-haknya.
Pada masa reformasi , kata ”kriminalisasi” beberapa kali dipakai bermacam-macam kalangan. Saat penyerbuan kantor PDI (27 Juli 1996) kembali diungkit , kata ini sempat dipakai kelompok penyokong tentara.
Ada yang merasa , penyebutan Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya sebagai orang yang ikut merancang penyerbuan yang berbuah jatuhnya korban dan meruaknya kerusuhan di Jakarta , sekadar misal , sebagai ”kriminalisasi” perwira tinggi.
Belakangan , kata ”kriminalisasi” ramai dipakai dikala politisi Zaenal Maarif berurusan dengan masalah pencemaran nama baik Presiden. Zaenal setrik serampangan menyebut Presiden sebagai pembohong sebab tak mengakui , sebelum pernikahannya yang kini pernah melaksanakan ijab kabul lain. Presiden melaporkan fitnah Zaenal tadi ke kepolisian.
Beberapa penyokong posisi Presiden sempat menggunakan terminologi ”kriminalisasi” dalam masalah itu. Presiden dipandang menjadi korban kriminalisasi sebab dituduh melaksanakan kebohongan publik (sebuah tindakan kriminal kalau pelakunya yaitu pejabat publik apalagi setinggi presiden) ihwal sejarah hidupnya. Para pendukung presiden tak sanggup mendapatkan , ”pemimpin mulia” yang mereka hormati sepenuh jiwa dinistakan satu keranjang dengan kriminal.
Presiden melawan dan Zaenal terlanda peristiwa dan berkah beriringan. Bencana tiba dalam bentuk penyidikan , peradilan , dan bahaya pemenjaraan. Namun , berkah tiba sebab Zaenal loncat pagar dari Partai Bintang Reformasi yang mengalami masa senja kala ke Partai Demokrat yang sedang menyemai sukses.
Bibit-Chandra
Syukurlah , ternyata saya tidak mengecewakan paham kata itu meski tak sepaham kawan-kawan di Pusat Bahasa! Dengan pemahaman , saya memandang masalah penersangkaan dan penahanan Bibit dan Chandra bukan saja kriminalisasi , tetapi juga kriminalisasi KPK. Bahkan , prosesi penahanan semenjak 29 Oktober kemudian terperinci mengatakan cukup telanjang ”kriminalisasi media massa”.
Bibit dan Chandra menjadi tersangka sebab dipandang polisi melaksanakan penyalahgunaan wewenang. Padahal , wewenang yang sama dan penggunaan serupa dilakukan pimpinan KPK semenjak periode pertama forum ini berdiri. Pimpinan yang lain tak terundung hukuman aturan apa pun atas ”penyalahgunaan wewenang” segimana disangkakan kepada Bibit dan Chandra. Alhasil , Bibit dan Chandra mengalami kriminalisasi segimana pernah dialami warga Kedung Ombo , perwira tinggi , dan presiden dalam ilustrasi sebelumnya.
Kriminalisasi Bibit-Chandra itu kemudian menjadi drama lucu dikala kepolisian tergagap-gagap sampai dikala ini untuk menunjukan bahwa mereka selain menyalahgunakan wewenang juga terlibat praktik penyuapan. Kelucuan mencapai puncaknya dikala banyak sekali pihak yang disebut terlibat dalam praktik ini ramai-ramai membantah sangkaan polisi. Polisi menghadiahi status tersangka bagi Bibit-Chandra sambil terus mencari-cari bukti yang cukup.
Kriminalisasi
Adapun KPK juga mengalami kriminalisasi. Penggunaan kewenangan segimana dilakukan Bibit-Chandra yaitu salah satu penggalan dari kerja KPK yang sudah membatin dalam institusi ini. Alhasil , dikala unsur yang lekat-erat-dekat dengan kerja kepemimpinan dan fungsi institusi ini disasar sebagai bentuk pelanggaran aturan , maka KPK mengalami kriminalisasi.
Sebuah institusi yang bekerja di atas landasan kokoh diperlakukan Kepala Kepolisian (yang bekerja berdasar pemagaran oleh atasannya) sebagai penyedia akomodasi tindakan kriminal.
Kriminalisasi juga menghantam media massa. Polisi menahan Bibit dan Chandra dengan alasan obyektif (terkena bahaya eksekusi di atas lima tahun) dan subyektif (berpotensi melarikan diri , menghilangkan barang bukti , dan mengulangi perbuatannya) , plus alasan khusus mempersulit penyidikan selama di luar tahanan sebab kerap mengadakan jumpa pers.
Kewarasan pikiran saya agak terganggu oleh keterangan itu. Bukankah dengan kerap mengadakan jumpa pers , seseorang atau sekelompok orang jadi menampakkan diri di depan publik sehingga mempersempit peluang yang bersangkutan untuk melarikan diri? Bukankah Presiden sudah memberhentikan sementara Bibit dan Chandra dan mencabut aneka kewenangannya sehingga keduanya tidak mungkin mengulangi perbuatan yang sama (menyalahgunakan wewenang itu)? Bagaimana mungkin Bibit-Chandra sebagai tersangka sanggup menghilangkan barang bukti kalau polisi sampai kini masih sulit menemukan barang-barang bukti itu?
Lalu , kalau jumpa pers dipandang polisi sebagai menyulitkan penyidikan , proses kriminalisasi media massa pun berlangsung. Media massa yang justru membantu publik memahami peta kisruh polisi-KPK setrik lebih baik justru dilecehkan sebagai alat mempersulit penyidikan , seolah membangun persengkongkolan kriminal.
Akhirnya , saya amat mendukung imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Jumat , 30/10/2009) Agar kita berhati-hati menggunakan istilah ”kriminalisasi KPK”. Menurut saya , imbauan ini terutama berlaku untuk mereka yang (mengaku) tidak paham Maknanya dan terlebih-lebih untuk para pelaku kriminalisasi itu. Bagi mereka , masalah Bibit-Chandra potensial menjadi persemaian bibit-bibit ketidakpercayaan publik.
EEP SAEFULLOH FATAH CEO PolMark Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kriminalisasi"