R Herlambang Perdana
Setrik sedikit demi sedikit , para ”buaya” mulai terjungkal. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polisi Republik Indonesia Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung AH Ritonga mengundurkan diri , Kamis (5/11).
Mundurnya dua petinggi Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung itu belum cukup mewakili eksistensi para ”buaya” dalam dua institusi tersebut. Apalagi , tidak segera ditetapkannya Anggodo Widjojo sebagai tersangka dengan alasan tidak cukup bukti memperkuat dugaan , masih ada ”buaya” lain yang bertahan di badan institusi penegakan aturan itu. Sementara keterangan Kapolri yang berbeda dengan temuan wartawan yang meliput sampai larut malam di Mabes Polisi Republik Indonesia soal penahanan membuat rasa keadilan masyarakat dicabik-cabik.
Klimaks pembusukan aturan belum berakhir. Tak mengherankan rakyat dari hari ke hari kian muak dengan proses penegakan aturan yang miring. Dalam kegiatan 100 hari pemerintahan Presiden Yudhoyono , pemberantasan berandal aturan menjadi prioritas kegiatan yang hendak dijalankan (5/11). Program ini menjadi penting dan memiliki momentum amat sempurna di tengah situasi merosotnya akidah masyarakat kepada proses penegakan aturan , terutama memulihkan pinjaman pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK.
Lalu , problem fundamental apa saja yang harus diselamatkan dalam situasi bobroknya penegakan aturan , khususnya dalam melawan mafioso di republik ini?
Mafia hukum
Ada sejumlah institusi negara yang harus serius diperhatikan alasannya ialah terkait sistem pemberantasan berandal hukum.
Pertama , penopang terkuat lahirnya berandal aturan justru dari pegawapemerintah penegak hukum. Pemberantasan berandal aturan sanggup dimulai dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Ada banyak petunjuk untuk menelisik eksistensi berandal pada dua institusi ini. Misalnya , menilik dan mengurai isi rekaman sadapan KPK , cukup sempurna digunakan sebagai pintu masuk membongkar sejumlah petinggi penegak hukum.
Istilah petinggi ”truno” dalam rekaman itu—menunjukkan keterlibatan pegawapemerintah aturan dalam konspirasi penyuapan dan korupsi—harus sanggup diidentifikasi dan diambil tindakan dan hukuman tegas. Begitu juga dalam dugaan suap yang muncul akhir-akhir ini , sanggup diukur dari apakah Susno Duadji dan Ritonga , yang telah mengundurkan diri , bakal diproses aturan setrik layak , atau sebaliknya , dibebaskan tanpa pertanggungjawaban pidana.
Kedua , pemberantasan dilakukan di pengadilan. Pengadilan selama ini menjadi mata rantai tak terpisahkan bekerjanya mafioso dan makelar kasus aturan yang begitu gampang memperdagangkan putusan hakim. Pembersihan ini amat tak mungkin dilakukan tanpa membuka ketertutupan pengadilan alasannya ialah keterbukaan menjadi sarana efektif untuk mengontrol dan melawan ketidakjujuran. Pembersihan berandal aturan di Mahkamah Agung ialah fundamental alasannya ialah ada di pucuk institusi peradilan , dilanjutkan di jajaran lebih rendah. Ini berMakna Mahkamah Agung harus higienis , berintegritas , dan jangan dipasok hakim- hakim yang terkotori suap , korupsi , dan aneka putusan tak berkualitas.
Ketiga , korupsi yang begitu kronis dan terjadi sistematik harus dilihat sebagai situasi genting bangsa ini. Karena itu , diharapkan prosedur khusus di luar kebiasaan dengan terus memperkuat tugas dan fungsi KPK. Segala bentuk pelemahan dan perlucutan wewenang KPK melalui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 wacana Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dilawan alasannya ialah menghilangkan hakikat menempatkan situasi luar biasa untuk memberantas korupsi.
Komitmen Presiden
Tersingkapnya kasus korupsi dan suap yang diikuti upaya pemidanaan pimpinan (nonaktif) KPK , Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah , merupakan kejadian terburuk yang menampar masa kepemimpinan SBY yang namanya juga dicatut. Maka , SBY seharusnya mengambil langkah aturan , melaporkan pencemaran nama baik. Sayang , Presiden membisu , seolah memagarkan untuk tidak mengambil langkah hukum.
Di sisi lain , Presiden gres saja mencanangkan kegiatan untuk melaporkan berandal aturan melalui PO Box 9949 Jakarta 10000 dengan isyarat ”Ganyang Mafia”. Tentu , ia berharap masyarakat percaya bakal kesungguhan janji SBY dalam memberantas berandal hukum.
Namun , masyarakat Indonesia bukan masyarakat yang cepat percaya dengan simbol-simbol maupun jargon pemberantasan berandal alasannya ialah yang dibutuhkan dalam situasi kini ialah ketegasan dan keberanian forum kepresidenan untuk menggunakan kekuasaan eksekutifnya memangkas mata rantai kerja mafioso.
Belajar dari sejarah , Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan (16/8/1970) menyatakan , ”Tidak perlu keraguan lagi , saya sendiri bakal memimpin usaha melawan korupsi.” Apa yang terjadi? Korupsi justru ditumbuhsuburkan dalam semua lapisan pemerintahan sehingga hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak terkotori korupsi.
Bila tidak ingin mengulang sejarah itu , Presiden SBY harus mengambarkan , memberantas berandal aturan tidak sekadar simbol atau jargon politik , tetapi memastikan jaminan proteksi hak-hak asasi insan dan merawat pMaknasipasi politik demokratis di segala bidang. Presiden dihentikan anti dan alergi terhadap keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan alasannya ialah kanal gosip merupakan dasar bagi upaya menumbuhkan tugas masyarakat. Maka , kebebasan beropini dan berekspresi , khususnya kebebasan pers , harus diperkuat dan dijamin. Tanpa merawat kebebasan itu , bukan mustahil kegiatan 100 hari memerangi berandal bakal berakhir nihil.
R Herlambang Perdana Dosen Hukum Tata Negara dan HAM ,Fakultas Hukum Universitas Airlangga , Surabaya
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ganyang Mafia?"