Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Elegi Pemberantasan Korupsi

Achmad M Akung

”Kesejahteraan dan daya saing suatu bangsa ditentukan oleh satu abjad kultural: tingkat iktikad yang mensifati masyarakatnya”.

Pernyataan itu ditulis Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.

Fukuyama menambahkan , modal sosial yang direpresentasikan dengan iktikad sama pentingnya dengan modal fisik (Ancok , 2003).

Dalam konteks keindonesiaan , pandangan Fukuyama relevan untuk mendedah usaha kita sebagai suatu bangsa dalam memerangi korupsi. Sebuah kriminal yang luar biasa dan sudah sedemikian kronis menggerogoti semua sendi kehidupan.

Metaforanya mungkin , jikalau semua ranting di semua hutan Indonesia dipakai sebagai pena dan air di semua lautan Indonesia sebagai tinta , perkara korupsi di negeri ini mungkin tidak pernah habis dituliskan.

Kita belum bisa menyirnakan korupsi dari Bumi Pertiwi. Perangkat keras berupa forum pemberantasan korupsi silih berganti diciptakan , berikut perangkat lunak berupa payung aturan yang silih berganti kita undangkan , ternyata belum membuat virus korupsi binasa.

Pemberantasan korupsi masih menjadi eikasia yang menghuni alam khayal kita. Negeri ini tetap saja sebuah belantara (korupsi). Siapa mitra dan siapa lawan tidak lagi kentara. Nicollo Machiavelli mungkin benar ketika menyebut insan sebagai serigala pemangsa sesamanya.

KPK , forum yang diperlukan menjadi garda depan pemberantasan korupsi , dipaksa berseteru dengan Polisi Republik Indonesia dalam lakon Cicak lawan Buaya. Kejaksaan pun ikut menimpali , menyerupai terekam dalam skenario ”kriminalisasi” KPK yang diputar Mahkamah Konstitusi.

Kebenaran mana yang sejati agarlah waktu yang menjawab. Karena sulit berharap pembuktian dari abdnegara penegak aturan yang justru sedang berseteru , menutup mata hati keadilan atas nama kepentingan korps , bukan daulat rakyat.

Mengikut asas kontradiksi dalam asas fatwa nalar , jikalau ada dua pendapat bertentangan , mustahil keduanya benar dalam waktu bersamaan. Demikian pula dalam asas penolakan kemungkinan ketiga , kebenaran hanya ada pada satu di antara keduanya.

Kontradiksi ini menjadi sumber disonansi kognitif bagi masyarakat yang sudah lelah untuk bertahan dalam kehidupan yang kian berat. Kepercayaan yang menjadi modal sosial melawan korupsi sekarang menjelang runtuh menuju titik nadir.

Memecah belah

Ketika Belanda menjajah negeri kita , taktik memecah belah terbukti amat ampuh untuk melanggengkan penjajahan mereka. Tiga setengah masa kita tunduk kepada imperialisme masa lalu.

Kini , taktik yang sama sedang dikloning imperialis modern berjulukan korupsi dalam lakon para koruptor ”kembali menyerang”. Tujuannya , melanggengkan korupsi , menjarah harta rakyat , dan mendaku negeri ini.

Politik memecah belah meruntuhkan apa yang disebut Fukuyama sebagai modal sosial , yakni kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dalam suatu nilai dan norma untuk menggapai tujuan bersama.

Modal sosial bukan sekadar jumlah institusi yang menyangga masyarakat , tetapi ia yaitu perekat yang menyatukan mereka. Mungkin inilah klarifikasi mengapa banyak institusi pemberantas korupsi tidak serta-merta membawa keberhasilan mengebiri korupsi.

Kepercayaan tidak dihadirkan sebagai ”roh” pemberantasan korupsi. Semua terjebak egoisme institusi , enggan bersinergi menimbulkan korupsi sebagai musuh bersama. Tanpanya , pemberantasan korupsi menjadi ringkih dan kita praktis diadu domba. Apalagi ketika forum yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan , berselingkuh dengan koruptor , membangun kekuatan oligarkis.

”Perang Bharatayudha” antarlembaga penegak aturan tidak terelakkan , membuang percuma banyak energi dan membuat kita lupa kiprah utama untuk menegakkan hukum.

Memberantas korupsi , bagi masyarakat yang dijangkiti runtuhnya iktikad , hanya bakal menjadi mimpi pada siang hari. Modal sosial berupa rasa saling percaya semua anak bangsa harus kembali dirajut alasannya yaitu ia yaitu syarat mutlak bagi pemberantasan korupsi.

Komitmen negara untuk memberantas korupsi perlu kembali dipertegas , seraya mengembalikan aturan bertakhta sebagai panglima. Ke mana lagi rakyat harus mengadu jikalau iktikad telah dikhianati? Sungguh , rakyat sudah lelah dengan elegi pemberantasan korupsi ini.

Achmad M Akung Dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang; Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Elegi Pemberantasan Korupsi"

Total Pageviews