Oleh Emmanuel Subangun
Pemerintahan tanpa stabilitas tidak mungkin. Namun , bila stabilitas dianggap sebagai norma tertinggi dalam pemerintahan , segera bakal lahir kesulitan. Dalam keadaan stabil , kecenderungan berpikir formal menjadi besar lengan berkuasa , berjalan menyerupai biasa.
Cara berpemerintah (dan bernalar) setrik formal tampak terang mengapa pihak-pihak yang berwenang tidak gampang memahami tanda-tanda yang oleh umum disebut kriminalisasi KPK. Hal yang sederhana , tetapi tidak gampang dimengerti. Atau tepatnya , bila dilihat setrik formal/normatif , masalah KPK/Polri tidak bakal tampak sebagai ”masalah” politik. Maksudnya?
Kriminalisasi
Kriminalisasi pejabat negara tak hanya terkait penegakan hukum. Seperti dikala presiden Amerika Serikat ingin membuka file CIA untuk penyiksaan dalam interogasi tawanan perang , reaksi keras muncul sebab dengan rencana itu bakal terjadi kriminalisasi seluruh mekanisme intelijen AS. Masalah menjadi gawat sebab teknik penyiksaan dituangkan dalam pedoman kerja yang diparaf kepala negara dan kehakiman. Maknanya? Teknik penyiksaan yang melanggar hak asasi itu setrik formal tanpa duduk kasus , tetapi setrik etika penuh masalah. Kasus menyerupai inilah yang ujungnya yaitu pengadilan kriminal di Den Haag (ICJ) untuk kriminal melawan kemanusiaan.
Setrik legal , begitulah duduk kasus kriminalisasi sebuah kebijakan politik yang sah setrik formal prosedural dan nasional. Namun , selain setrik legal , ada pergeseran lebih penting dalam tata pergaulan politik cukup umur ini. Jika politik konvensional tak lain yaitu penentuan kawan/lawan , politik zaman kini sedang menghadapi paradigma khusus yang muncul di periode XX. Politik bukan saja sekadar mengurusi konflik kepentingan (Makna konvensional) , yang kemudian sanggup diteruskan dengan perang bila perlu (penggunaan kekerasan). Politik harus menghormati kemanusiaan , atau insan sebagai insan , dan insan tidak pernah dijadikan alat dalam politik.
Prinsip kemanusiaan sebagai tujuan mutlak (dan bukan sekadar alat) itulah yang dianut dikala ini. Itulah yang disebut Kantianisme yang humanistik. Itulah yang menjelaskan mengapa reaksi amat luas atas tindakan Polisi Republik Indonesia dalam masalah KPK. Kemanusiaan yang setrik ”sah dan resmi” dilanggar Polisi Republik Indonesia itulah yang sepertinya dirasakan masyarakat luas.
Di bawah konsep kriminal melawan kemanusiaan itulah dalam skala kecil sanggup dimengerti apa maksud kriminalisasi KPK. Kaprikornus bukan sekadar soal cicak lawan buaya , bukan juga sekadar upaya melemahkan KPK oleh mereka yang terganggu atrik forum khusus ini.
Dalam konflik kekuasaan antarlembaga negara (Polri , kejaksaan , dan KPK) , hal semacam itu sanggup dan mungkin terjadi. Anda lebih gampang memahami kriminalisasi bila memerhatikan perilaku politik teroris yang membunuh sambil meng-”kafir”-kan musuh. Mengingat KPK yaitu forum khusus , maka pukulan terhadap KPK dengan trik menyerupai itu segera menerima reaksi luas. Tindakan Polisi Republik Indonesia telah meneror masyarakat.
Pelajaran politik
Dari semua yang terjadi itu muncul pelajaran politik yang amat berharga. Pelajaran itu muncul dari agenda pemerintah untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Maknanya , Agar alat pemerintahan ditempati orang yang sempurna , forum tinggi negara ditempati oleh mereka yang mengenal baik bahwa statecraft bukan sama sebangun dengan urusan organisasi swasta , menyerupai perusahaan!
Mengingat Tentara Nasional Indonesia kini sudah kian profesional (dalam Makna penjaga keamanan negara) dan polisi yaitu penjaga ketertiban dalam negeri , maka tuntutan profesionalisme polisi bakal semakin kuat. Profesionalisme Polisi Republik Indonesia bukan sekadar penguasaan keahlian tukang bengkel , tetapi polisi tak sanggup lain dituntut memberi rujukan gimana menghadirkan prinsip aturan setrik layak dalam demokrasi. Dan apa pengertian aturan dalam negara demokrasi?
Asas dasarnya hanya satu , yakni ”kepantasan”. Sistem aturan dimaksudkan untuk memungkinkan keadilan yang penuh ”kepantasan” ditegakkan. Pihak yang memungkinkan setrik substansial kepantasan itu tegak tak lain yaitu Polisi Republik Indonesia dan penegak aturan lainnya. Kaprikornus , reaksi keras dan meluas atas tindakan polisi terhadap KPK , suka atau tidak , yaitu sebab asas subtil ”kepantasan” telah dilanggar. Itulah sejatinya kriminalisasi KPK.
Kembali ke dasar
Untuk menghindarkan diri setrik kolektif karam dalam arus liar membingungkan , sebaiknya dicatat tiga asas berikut.
Pertama , legalisme demokratik menurut paham Kantian yang humanistik , menyerupai semboyan Brimob yang berbunyi ”jiwa ragaku untuk kemanusiaan”.
Kedua , kepantasan yaitu kaidah juristik yang harus dipahami semua penegak aturan (polisi , jaksa , dan hakim). Dan mereka harus memberi rujukan tegaknya aturan aturan itu.
Ketiga , mengingat masalah KPK/Polri terjadi dalam proses reformasi birokrasi , maka semua pejabat negara harus memahami , statecraft jauh beda dengan sekadar keterampilan tata kelola (SOP) yang formal , tekstual , dan normatif.
Emmanuel Subangun Sosiolog
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ironi Kriminalisasi"