Oleh Makmur Keliat
The state is dependent on the virtue of incorruptibility. (Erhard Eppler)
Suatu ketika , Paul Tillich , filsuf Amerika kelahiran Jerman , menyatakan , jikalau tidak ada kekuasaan untuk membuat dan menegakkan aturan , negara juga tidak ada.
Pertanyaannya kemudian yakni masihkah kita berani menyatakan bahwa negara yang disebut Indonesia yakni sebuah negara aturan Setelah kita menyaksikan kekisruhan luar biasa antara KPK dan polisi?
Lima alasan
Ada lima alasan mengapa pertanyaan ini dilontarkan.
Pertama , perkara KPK lawan polisi menunjukkan , negara yang disebut Indonesia hanya bisa menghasilkan aneka ketentuan aturan , tetapi tak bisa menegakkan. Dalam kajian wacana tipe negara , abjad menyerupai ini membuat Indonesia sanggup dikategorikan negara yang lemah.
Negara menyerupai ini hanya selangkah dan ada di garis batas untuk menjadi negara gagal , yaitu suatu negara di mana banyak sekali kelompok masyarakat menjalankan hukumnya sendiri dengan trik-trik kekerasan lantaran sama sekali tidak lagi percaya kepada institusi yang disebut negara. Kasus Rwanda di Afrika yakni rujukan yang sering disebut sebagai fenomena negara gagal. Semoga Indonesia tidak sedang mengikuti langkah Rwanda.
Kedua , perkara KPK lawan polisi menunjukkan negara yang disebut Indonesia sedang mengalami demoralisasi dan desakralisasi dalam lembaga-lembaga penegak hukum. Demoralisasi dan desakralisasi itu muncul menjadi sentimen publik yang berpengaruh ketika KPK dibuat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Asumsi yang melandasi pembentukan KPK semenjak awal yakni tidak ada satu pun forum negara yang tidak terlanda korupsi. Seandainya institusi Polisi Republik Indonesia , kejaksaan , dan kehakiman masih memiliki dapat dipercaya sebagai forum penegak aturan untuk menghadapi korupsi , bahwasanya KPK tidak perlu dibentuk. Namun , pembentukan KPK semenjak awal tidak berangkat dari pengandaian ini. Itu sebabnya setrik moral publik cenderung memandang KPK memiliki dapat dipercaya moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan forum penegak aturan lain.
Lembaga pemolisian
Ketiga , perkara KPK lawan polisi menunjukkan , negara yang disebut dengan Indonesia itu tidak memiliki akar pedoman yang berpengaruh untuk memahami apa yang disebut dengan forum pemolisian. Setrik konseptual , pengertian forum pemolisian bukanlah dalam pengertian tunggal atau hanya dilakukan polisi.
Polisi hanya salah satu dari forum pemolisian. Institusi kehakiman , kejaksaan , dan polisi merupakan kepingan dari forum pemolisian itu. Justru lantaran dapat dipercaya tiga forum pemolisian itu begitu rendah , KPK kemudian dibentuk.
Dengan kata lain , KPK sendiri merupakan kepingan dari forum pemolisian. Karena itu , merupakan suatu sesat pikir yang sangat fatal jikalau terdapat pandangan yang menyatakan bahwa polisi merupakan satu-satunya forum yang memiliki ranah dalam melaksanakan pemolisian. Pemikiran menyerupai ini bakal dengan gampang membuat kesimpulan bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengawasi polisi Indonesia dan polisi yakni sama dengan negara.
Keempat , perkara KPK lawan polisi menunjukkan bahwa negara yang disebut dengan Indonesia itu belum bergeser dari paradigma berpikir ”oknum” dan bukan sistem. Paradigma menyerupai ini sanggup juga disebut dengan paradigma ”siapa yang salah” , bukan paradigma ”apa yang salah”.
Pembentukan tim pencari fakta , menyerupai pembentukan tim-tim pencari fakta yang telah ada sebelumnya—dalam perkara Semanggi dan Aceh—dianggap selesai ketika ditemukan ”siapa” yang bersalah dan tidak melaksanakan pembenahan setrik sistemik untuk bergerak ke arah paradigma ”apa yang salah” melalui aneka pembuatan regulasi yang lebih ketat sehingga penyalahgunaan kekuasaan sanggup diminimalkan.
Salah satu akhir yang amat serius dari jawaban kebijakan menyerupai ini yakni harapan Indonesia sebagai negara aturan itu hanya hadir ”sesaat” ketika suatu tim pencari fakta dibentuk. Setelah itu hilang dan kembali menyerupai biasa sehingga tidak ada Perbedaan antara Indonesia ”masa lalu” , Indonesia ”hari ini” , dan Indonesia ”masa depan”.
Masa depan Indonesia telah dipaksa terperangkap oleh ”masa lalu” dan ”hari ini” yang gelap gulita. Cahaya di ujung terowongan hanya muncul sekilas , kemudian Indonesia masuk kembali ke dalam terowongan yang gelap gulita itu.
Belum melindungi warga
Kelima , perkara KPK lawan polisi ini memberikan pesan , negara yang disebut Indonesia itu belum sanggup menjadi pelindung bagi warganya. Meminjam pedoman Erhard Eppler (2009) , pembentukan negara yakni suatu pembuatan komitmen suci atau ikrar bahwa setiap orang , khususnya yang lemah , menerima perlindungan. Janji ini tampaknya kian sirna dari republik ini.
Ironi besar yang muncul dari perkara KPK lawan polisi ini yakni perasaan yang amat tidak berdaya dari pihak yang lemah yang tersimbolkan oleh institusi KPK dan dari adanya kecenderungan bertele-tele , jikalau bukan inaction , dari pemerintah untuk penyelesaian perkara ini. Jika kecenderungan ini terus berlanjut , publik mungkin bisa mengadu kepada penciptanya dan berdoa ”ya Tuhan lindungilah saya dari pelindung saya”. Jika ini yang tidak tidak boleh , kita mungkin bakal segera masuk ke dalam situasi negara yang gagal.
Jadi , marilah kita menuntaskan perkara ini secepatnya. Korupsi memang harus diberantas. Taruhannya bukan soal uang semata. Lebih dari itu , taruhannya yakni negara itu sendiri. Seperti dikutip dalam awal goresan pena ini , jangan pernah berharap kita bakal tetap memiliki negara jikalau korupsi terus berlangsung.
Jadi , hilangkanlah pedoman dan keyakinan bahwa uanglah yang membuat dan menegakkan aturan , dan lantaran itu pula yang menghadirkan negara. Pandangan menyerupai ini hanya mendorong para penegak aturan menjadi pedagang hukum.
MAKMUR KELIAT , Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Selama Korupsi Ada| Jangan Harap Ada Negara"