Oleh Satjipto Rahardjo
Kartu sudah dibuka di atas meja. Berkat kemajuan teknologi informasi elektronik , dalam bilangan detik seluruh dunia—domestik maupun internasional—mengetahui isi perut penegakan aturan di negeri ini.
Selama lebih dari empat jam kita disuguhkan suatu reality show wacana isi dapur penegakan aturan dari sebuah negeri yang berjulukan Indonesia. Kok yang begitu sanggup terjadi dan kok-kok yang lain.
Kekuatan publik
Kita tergagap bertanya-tanya , gimana efeknya terhadap publik? Publik itu tidak hanya terdiri dari orang yang tahu aturan , tetapi lebih banyak lagi orang yang awam dalam bidang hukum. Dengan demikian , para pemirsa yang tahu aturan tidak sanggup memaksakan kepada semua orang untuk melihat pertunjukan rekaman itu menyerupai spesialis aturan melihatnya.
Jutaan pemirsa awam itu berhak menafsirkan dan memaknai apa yang gres saja dilihatnya. Itulah hak asasi mereka. Mereka tidak sanggup dipaksa untuk memahaminya , menyerupai seorang yang tahu aturan memaknainya.
Pengaruh kekuatan publik atau opini publik terhadap aturan memang merupakan ranah wacana tersendiri dalam hukum. Kekuatan itu ada di masyarakat yang tak sanggup ditepis dan diabaikan begitu saja oleh komunitas aturan , semata-mata berdasar keawaman mereka. Setrik sosiologis , besar atau kecil opini itu bakal besar lengan berkuasa terhadap hukum.
Lupakah kita terhadap insiden pemberlakuan UU Lalu Lintas Jalan 1992 (?) yang ditunda satu tahun. Di situ terang tergambar kekuatan opini publik sehingga otoritas aturan bertekuk lutut. Masih banyak lagi insiden dalam sejarah aturan dunia , di mana opini publik menjadi barometer dalam legislasi , ajudikasi , dan penerapan hukum.
Logika aturan dan logika umum
Sesungguhnya aturan itu amat esoterik , hanya sanggup dipahami oleh orang yang memang berguru hukum. Banyak bahasa , istilah , konsep , dan kepercayaan aturan yang merupakan bunyi-bunyian yang gila di indera pendengaran masyarakat umum.
Mereka tidak mengetahui alasannya yakni , mengapa si A tidak segera dimasukkan ke penjara? Mengapa si B tidak segera ditangkap dan lain-lain. Itulah logika awam mereka. Sebenarnya mereka tak benar-benar awam. Mereka cukup cerdas , tetapi dengan menggunakan logika daypikir dan nuraninya sendiri. Di sana-sini terlihat kecerdasan ”awam” itu lebih tajam dari logika , alasan , dan penalaran hukum.
Maka , menyerupai Paul Vinogradoff , ia bitrik wacana daypikir dalam hukum. Makara , janganlah aturan kita menjadi begitu angkuh sehingga mengabaikan kekuatan , tugas , dan pikiran publik. Maka segeralah aneka macam insiden yang mencolok itu diselesaikan dan jangan mengecewakan publik.
Sistem peradilan antikorupsi
Mengamati silang sengketa di antara sesama penegak aturan selama ini , pada irit saya , ada suatu hal lebih besar yang terlupakan untuk disinggung dan dibitrikkan , yaitu wacana sistem besar di mana keributan kini terjadi. Sistem itu dikenal sebagai criminal justice system. Baik polisi , jaksa , maupun KPK sama-sama bekerja menurut sistem itu. Sistem itu memberi hak dan wewenang kepada para pelaku dalam sistem itu. Kewenangan itu memiliki potensi besar untuk bersinggungan dan berbenturan , menyerupai kewenangan untuk menyidik.
Maka , saya berpikir , apakah dalam jangka panjang kita tidak perlu membangun suatu sistem Indonesia sendiri yang lebih progresif , yang dibutuhkan lebih ampuh untuk memberantas korupsi.
Sistem itu yakni sistem peradilan antikorupsi (anticorruption justice system). Di dalam sistem itu saya membayangkan , semua kekuatan atau institut dalam pemberantasan korupsi hanya merupakan sekrup-sekrup dari mesin besar antikorupsi itu. Dengan demikian , jaksa , polisi , dan KPK sama-sama berdiri di atas satu panggung yang sama dan kokoh.
Maka , imbas dari friksi-friksi yang terjadi di antara sesama ”sekrup mesin antikorupsi” sanggup ditekan serendah mungkin. Dalam melakukan hak itu saya berpikir mereka harus senantiasa bergandeng tangan dan bekerja sama untuk memberantas korupsi.
Musuh kejaksaan , kepolisian , dan KPK yakni korupsi dan hanya korupsi.
Satjipto Rahardjo , Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro , Semarang
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Rekaman Aturan Indonesia"