Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin
Zen Rachmat Sugito
Tiap berpikir wacana kualifikasi seorang guru , kita sebetulnya sedang berharap ibarat itulah kualifikasi minimal yang semestinya dimiliki seorang pemimpin: punya standar kognisi (intelektual) dan afeksi (perilaku dan sikap) di atas rata-rata.
Guru setrik etimologis berasal dari bahasa Sanskerta , gur-u’ , yang berMakna mulia , bermutu , memiliki kehebatan , dan orang yang sangat dihormati lantaran kewaskitaannya. Dalam khazanah Jawa Kuno , dikenal sejumlah istilah yang melekat pada kata ’guru’: guru desa (kamitua desa yang mumpuni dalam dunia spiritual) , guru hyan (guru rohani) , guru loka (pejabat agama di istana) , dan guru pitara (mendiang nenek moyang yang patut dimuliakan lantaran kewaskitaannya).
Kata ’gur-u’ kemudian bertemu dengan kata ’as’ , sebuah kata yang dalam bahasa Sanskerta berMakna mengajar. Saat itulah kata guru juga bermakna ’mengajar’. Itu juga dengan prasyarat: guru tetap harus memiliki sikap mulia ibarat yang dibebankan oleh kata ’gur-u’.
Seorang pengajar bisa disebut baik bila murid-muridnya berhasil menerima nilai anggun di kelas. Namun , seorang guru yang baik selalu dituntut bisa melahirkan manusia-manusia yang baik , bukan sekadar murid yang pintar. Guru dituntut tak hanya bisa "menggarap" kognisi (rasio-logika) , tetapi juga afeksi (rasa , cipta , karsa , dan sikap).
Oleh lantaran itu , dalam sejarah kesadaran kita atau dalam ekspektasi kita , guru mesti memiliki kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi) , tetapi juga memenuhi prasyarat bila seseorang ingin jadi pemimpin yang baik. Ia harus bisa mengajarkan gimana jadi insan yang baik , bisa memberi teladan bahwa , contohnya , korupsi itu sama saja dengan mencuri lewat pola eksklusif dalam laris keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serba terbatas. Kualitas itulah yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan pemimpin.
Tak ada yang lebih pas untuk merumuskan kiprah macam itu selain istilah ’guru’ , bukan ’teacher’ atau ’lecture’. Itu sebabnya , ’guru’ kerap dipanjangkan sebagai "digugu dan ditiru". Kaprikornus , tidak mengherankan bila peribahasa "guru kencing bangun , murid kencing berlari" hanya ada di negeri atau di tempat di mana ’guru’ tak hanya dimengerti semata sebagai ’teacher’.
Itu pula kiranya yang menjadikan di sini guru (pernah) diposisikan sebagai "manusia suci" , semacam resi , yang selain terpelajar , tetapi punya laris nrimo nan asketis. Saya kira inilah yang jadi lantaran Mengapa kita ibarat kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru , lantaran memang (pernah) tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu hidup sederhana dan nrimo (bandingkan risiko jadi guru dengan risiko jadi pemimpin ibarat pernah dinyatakan Agoes Salim: "Memimpin ialah juga menderita").
Di sini muncul dilema. Kita setuju , sudah sepantasnya guru punya penghidupan dan penghasilan honor yang baik. Namun , bila guru sudah punya kehidupan yang layak , taruhlah laiknya pegawai bank , kita khawatir banyak orang ingin jadi guru lantaran semata tergiur penghasilannya yang memadai , bukan lantaran panggilan hati menjadi pendidik. Kita khawatir guru dimengerti hanya sebagai profesi , yang tak ada Perbedaan dengan profesi sekretaris atau arsitek , contohnya.
Sejarah sebagai guru
Kita hanya perlu membaca kembali sejarah Indonesia untuk mengetahui gimana kiprah sosial dan historis para guru dalam proyek besar mencapai kemerdekaan. Para guru di masa pergerakan , terutama mereka yang mengajar di sekolah pMaknakelir , punya kiprah signifikan.
Banyak dongeng yang bisa kita dengar wacana kiprah guru-guru sekolah pMaknakelir itu. Dari beberapa goresan pena Pramoedya , contohnya , ibarat dalam novelet Bukan Pasar Malam dan kumpulan cerpen Cerita dari Blora , kita tahu gimana atrik ayahnya di SD Boedi Oetomo tidak hanya dalam mengajar murid-muridnya , tetapi juga dalam organisasi pergerakan.
Pemerintah kolonial balasannya menyadari susila subversif sekolah pMaknakelir. Pada September 1932 , dilansir Wilden Scholen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar) yang melarang beroperasinya sekolah-sekolah yang didirikan tanpa izin.
Apa yang dilakukan ayah Pram bukan kasus unik. Jika membaca riwayat hidup para pemimpin di masa awal lahirnya Indonesia , kita bakal menyadari betapa banyak di antara mereka yang ternyata guru , setidaknya pernah menjadi guru.
Soekarno , semasa ditahan di Bengkulu , mengajari belum dewasa di sana sejumlah mata pelajaran; mulai dari berhitung , bahasa Belanda , sampai sejarah. Di Bandaneira , Hatta dan Sjahrir setrik intensif dan teratur jadi guru belum dewasa di lingkungan rumah tahanan mereka. Keduanya tak hanya memberi pelajaran formal , tetapi juga nonformal , ibarat pendidikan politik rahasia , di antaranya dengan mengecat bahtera dengan warna merah-putih dan diajari lagu-lagu perjuangan.
Dari kelompok "kiri" , Semaoen , Alimin , sampai Tan Malaka juga punya pengalaman sebagai guru. Tan Malaka bahkan pernah menjadi kepala sekolah di sebuah tempat perkebunan di Sumatera Timur dan menjadi guru hampir di semua tempat pelariannya di luar negeri.
Momen sebagai guru itu bahkan menjadi metanoia , semacam pencerahan yang tuntas , bagi Tan Malaka. Selama mengajar di perkebunan kolonial , Tan Malaka menyaksikan gimana orang-orang pribumi yang bekerja di perkebunan itu sungguh-sungguh diperlakukan tak selayaknya manusia. Pemahaman sosial itu menjadikan Tan Malaka menceburkan diri ke dunia pergerakan dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan lantas ditugaskan mengelola sekolah partai yang lantas masyhur sebagai "Sekolah Tan Malaka".
Dari militer , Soedirman dan Nasution juga punya pengalaman sama. Jenderal Soedirman selama lebih kurang 5 tahun menjadi kepala sekolah di sebuah SD Muhammadiyah di Cilacap , sebelum bergabung dengan Peta. Nasution pun menjadi guru di Bengkulu (1938) dan di Palembang (1939-1950) , sebelum jadi tentara KNIL.
Krisis guru
Daftar pemimpin Indonesia yang menjadi guru bisa sangat panjang bila satu per satu disebutkan di sini. Sebutlah ibarat Ki Hadjar Dewantara , Djuanda , atau Ratulangie (Daniel Dhakidae pernah menulis dengan memikat kualitas guru dalam diri Ratulangie). Dengan intelegensi (kognisi) di atas rata-rata dan sikap hidup (afeksi) yang nrimo mengabdi pada impian kemerdekaan (yang sering dipantik oleh pengalaman sosial ibarat Tan Malaka) , tak mengherankan bila tokoh-tokoh ibarat Soekarno , Hatta , dan Tan Malaka dengan gampang bertukar tempat dari seorang guru kemudian jadi pemimpin massa.
Jika dalam ruangan mereka mengajar mata pelajaran berhitung , membaca , dan menulis , di lapangan , pergerakan mereka mendidik kesadaran rakyat bakal pentingnya kemerdekaan. Dan , murid para guru yang telah bersalin menjadi pemimpin itu ada di seantero penduduk Hindia Belanda , dengan ruang kelas sepanjang Sabang-Merauke.
Dengan struktur kesadaran macam itu , tak heran bila di Indonesia istilah the founding fathers dengan gampang dipertukarkan begitu saja dengan istilah "guru bangsa". Jangan heran juga bila George Washington atau Thomas Jefferson di Amerika hanya disebut sebagai the founding fathers dan tak pernah disebut "guru bangsa". Karena istilah guru bangsa , sepengetahuan saya , tak tercetak dalam struktur kesadaran bangsa Amerika.
Dengan kualifikasi guru ibarat yang sudah saya paparkan , setiap guru yang baik sebetulnya ialah bidan yang bisa melahirkan pemimpin yang baik. Dengan alur pikir macam ini , kita bisa mengajukan pertanyaan lanjutan: bila kini kita mengalami krisis kepemimpinan , mungkinkah ini menunjukan kita sedang mengalami krisis guru yang baik? Ataukah sedang terjadi transformasi dalam kesadaran kita wacana Makna dan posisi guru menjadi tak lebih sebagai pengajar?
Zen Rachmat Sugito , Editor Jurnal "Nagara Weekly" , Menetap di Jakarta.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Krisis Guru"