Aloys Budi Purnomo
Salah satu akar duduk kasus di balik kusutnya ”pertikaian” Polisi Republik Indonesia vs KPK yaitu krisis kebenaran.
Ujung krisis itu melahirkan krisis keadilan dan kepercayaan.
Krisis kebenaran menggurita di wilayah penegak aturan , khususnya kepolisian dan kejaksaan. Bahkan diperparah sindikat makelar masalah dan jaringan mafia peradilan yang memperjualbelikan perkara.
Kebenaran sanggup dibeli dan penegak aturan pun disuap! Akibatnya , yang salah dinyatakan benar , yang benar dinyatakan salah. Yang seharusnya diadili dan ditahan melenggang bebas. Yang mestinya bebas justru dibelenggu dan dinyatakan tersangka.
Lebih memprihatinkan , pihak legislatif yang seharusnya menjadi pembawa bunyi kritis terhadap forum yudikatif justru tampak lembek penuh basa-basi , menyerupai terpancar pada wajah Komisi III dewan perwakilan rakyat dalam rapat dengar pendapat di dewan perwakilan rakyat dengan Kepala Polisi Republik Indonesia dan jajarannya (5/11).
Krisis keadilan
Dalam masalah Polisi Republik Indonesia lawan KPK , krisis kebenaran di kepolisian (dan kejaksaan) membuahkan krisis keadilan terhadap KPK.
Bagi yang bernurani jernih , bundar krisis kebenaran itu memperanakkan krisis keadilan , dan melahirkan kesimpulan , telah terjadi kriminalisasi (terhadap) KPK. Bahkan , dua unsur pimpinan (nonaktif) KPK , Bibit- Chandra , yang meski penahanannya ditangguhkan , masih tetap berada dalam posisi sebagai tersangka.
Setrik sosial , fakta ini dikecam masyarakat luas melalui ratusan ribu facebookers dan agresi demo pendukung KPK yang turun ke jalan di Bundaran Hotel Indonesia , Jakarta , Minggu (8/11) , termasuk agresi demo serupa di sejumlah daerah.
Anehnya , abdnegara penegak aturan belum sadar bahwa mereka sesungguhnya sedang dililit krisis kebenaran yang andal dan membuat wajah birokrasi pemerintahan di republik ini kian korup.
Mengherankan , pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sepertinya tenang-tenang saja berlindung di balik argumentasi: pemerintah tak mau intervensi pada wilayah yudikatif. Bahkan , pihak legislatif pun tak bisa melihat , krisis kebenaran yang menimpa abdnegara penegak aturan bangsa ini telah melahirkan krisis keadilan.
Pernyataan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Toto Sugiarto benar. dewan perwakilan rakyat sebagai forum politik belum berpegang pada keadilan alasannya tidak bersikap netral dan abai dengan rasa keadilan yang dialami masyarakat (Kompas.com , 8/11).
Lengkaplah , bangsa ini dihantam krisis kebenaran dan keadilan di tingkat yudikatif , legislatif , maupun eksekutif.
Teori keadilan
Dalam perspektif teori keadilan John Rawls , krisis keadilan buah dari krisis kebenaran di negeri ini tampak dalam diri para penegak aturan (kepolisian dan kejaksaan) , para legislator , dan elite politik yang tidak berperan sebagai person moral.
Menurut Rawls , person akhlak ditandai dua kemampuan moral. Pertama , kemampuan untuk mengerti dan bertindak menurut rasa keadilan dan dengannya mengupayakan kolaborasi sosial menegakkan keadilan. Kedua , kemampuan membentuk , merombak , dan mengupayakan terwujudnya kebaikan demi kepentingan bersama.
Kedua kemampuan akhlak itu seolah lenyap dari diri para pengemban yudikasi dan legislasi kita dalam masalah pemberantasan korupsi. Maka , krisis keadilan pun bakal kian merebak sebagai konsekuensi logis dari krisis kebenaran.
Pengambilan keputusan etis yang tegas demi membela kebenaran dan keadilan pun sulit terjadi.
Memulihkan kepercayaan
Di tengah gelombang krisis kebenaran yang melahirkan krisis keadilan dan iktikad , para pejabat negara ini ditantang untuk segera memulihkan iktikad masyarakat terhadap mereka.
Gelombang proteksi masyarakat baik di dunia maya maupun di tingkat akar rumput kepada KPK untuk tetap besar lengan berkuasa berjuang melawan koruptor sesungguhnya merupakan manifestasi krisis kepercayaan.
Masyarakat luas mengalami krisis iktikad terhadap abdnegara penegak aturan dan anggota legislatif. Krisis iktikad ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono jikalau tak segera mengambil perilaku terang dan tegas prokebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus berdiri meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak , krisis iktikad rakyat pun bakal kian menguat. Pemerintah harus memulihkan iktikad rakyat dengan kembali pada kesepakatan menyelenggarakan clean and good gkelewat / overnance. Jangan agarkan ”bandit membajak instrumen negara!” (Komaruddin Hidayat , Suara Merdeka , 5/11)!
Bila tidak , meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building , 2006) , bangsa kita bakal terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah , melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran. Semoga tidaklah demikian.
Aloys Budi Purnomo , Rohaniwan; Pemred Majalah Inspirasi , Lentera yang Membebaskan;Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bangsa Krisis Kebenaran"